(AMS, opini)
BUKA mata... buka hati..., mari melihat dan menilai secara jujur: mengapa Jokowi (PDIP) lebih memilih Jusuf Kalla, mantan pendamping (Wapres) SBY itu, untuk kembali dijadikan sebagai Cawapres pada Pilpres 2014 ini?
Jawabannya, sangat bisa diduga adalah karena PDIP sudah merasa yakin, bahwa peluang untuk menang sangat tipis jika Jokowi tidak ditopang dengan dana “super-jumbo”. Dan ini berarti nyali PDIP “ciut”, alias tidak percaya diri. Mengapa?
Pertama adalah, karena “gelombang” populeritas Jokowi pra-pileg yang digenjot secara berlebih-lebihan di banyak media, ternyata tak mampu membawa PDIP meraih suara untuk kecukupan pemenuhan Presidential-Threshold. Artinya, bagai masakan, efek Jokowi cuma berasa “hambar”, dan bahkan terasa sedikit pahit.
Andai saja rakyat menilai Jokowi itu hebat dan cocok menjadi Presiden, maka tentulah capaian suara pileg PDIP 2014 kemarin bisa terpenuhi dengan mudah seperti yang ditargetkannya, yakni 27,02 persen atau 152 kursi di DPR.
Namun sekali lagi, efek Jokowi nyatanya tak mampu memenuhi target tersebut. Padahal boleh jadi dana untuk menggenjot popularitas Jokowi tentulah tak sedikit jumlahnya.
Sehingga itu, dari kabar selentingan menyebutkan, bahwa akibat dari target yang tak terpenuhi itulah, membuat kubu PDIP sempat mengalami guncangan yang cukup hebat. Bahkan ada sejumlah elit PDIP yang menolak agar Jokowi tidak dipaksakan untuk maju pada Pilpres 2014.
Kabar ini pun diperkuat dengan munculnya isu tentang Puan Maharani yang dikabarkan sempat mengusir Jokowi ketika berkunjung ke kediaman Megawati Soekarnoputri beberapa saat sesudah Pileg digelar, pada 9 April 2014 lalu terkait ketidakpuasan terhadap perolehan suara pada Pileg tersebut.
Jika kabar itu benar, lalu mengapa Jokowi masih tetap dicapreskan?
Begini. Semua itu bisa diredam adalah boleh jadi juga berkat pressure dari para cukong politik. Siapa-siapa cukong yang punya kepentingan besar untuk dalam mendanai pencapresan Jokowi? Disebutkan termasuk salah satunya adalah Jusuf Kalla (JK) sendiri (Sumber: Daftar Cukong Jokowi)
Gilanya lagi, di belakang JK bahkan juga dikabarkan terdapat cukong yang secara khusus akan menyiapkan dana demi meloloskan JK menjadi Cawapres berpasangan Jokowi. Dan tentang dugaan adanya cukong atau bandar politik di balik ambisi JK untuk kembali jadi Wapres juga sudah pernah saya munculkan dalam sebuah artikel di Kompasiana pada Oktober 2013 lalu(Baca: Bandar Politik Rp.2 Triliun)
Sehingga itulah semuanya kiranya yang membuat PDIP dan Jokowi jadi “ngiler” untuk hanya meminang “si Janda Kaya itu”. Sekaligus hal itu pula yang bisa kembali membangkitkan “nyali” PDIP untuk percaya diri memajukan Jokowi-JK pada Pilpres 2014.
Jika demikian adanya, maka tentu sudah boleh diraba kepada siapa nantinya pasangan ini “mengabdikan diri” ketika berhasil terpilih sebagai presiden-wakil presiden mendatang...??? Sebab, dari pandangan sang “Ibu Pertiwi” dari kacamata NKRI, sudah pasti Jokowi atau JK bukanlah satu-satunya sosok terbaik yang menjadi aset bangsa saat ini.
Dan saya yakin masih banyak anak bangsa yang lebih baik dari Jokowi bahkan jauh lebih berkualitas daripada JK. Hanya saja, anak bangsa tersebut memang masih kalah uang, padahal mereka (putra bangsa kita lainnya itu) sesungguhnya bisa lebih mampu membawa Indonesia menjadi negara kuat dan digdaya.