(AMS, opini)
SEPERTI tahun-tahun sebelumnya, menjelang akhir Ramadhan, terdapat kegiatan yang terasa sudah menjadi sebuah “kewajiban” tersendiri bagi seluruh umat Muslim di tanah air selepas berbuka puasa, yakni sesegera mungkin mencari tahu penetapan waktu hari Raya Idul Fitri secara nasional di sejumlah media elektronik atau informasi dari para kerabat dekat (di radio maupun di beberapa stasiun televisi, keluarga, teman dan lain sebagainya).
Adalah termasuk adanya diriku yang sangat ingin mendapatkan informasi pasti tentang waktu berlebaran tersebut. Sejumlah stasiun televisi swasta pun menayangkan siaran pelaksanaan Sidang Isbat yang dipimpin langsung oleh Menteri Agama Suryadharma Ali di kantor kementerian, Senin (29/8/2011).
Setelah melalui pembahasan alot dengan berbagai masukan dan pandangan masing-masing yang dikemukakan oleh para ormas Islam, Menteri Agama pun mengambil keputusan secara “demokrasi” dan bulat dari suara terbanyak. “Sidang Isbat memutuskan 1 Syawal 1432 Hijriah jatuh pada hari Rabu 31 Agustus 2011,” tegas Menteri Agama Suryadharma Ali.
Sebelum penetapan yang dibacakan oleh Menteri Agama tersebut, tiga ormas terbesar di Indonesia, Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU) dan Persatuan Islam (PERSIS) telah berbeda pandangan dalam menetapkan Idul Fitri 1 Syawal 1432 tahun ini, begitu pun dengan tahun-tahun silam tak jarang mereka telah berseberangan pendapat tentang penetapan waktu berlebaran.
Tahun ini, Muhammadiyah berlebaran hari Selasa (30 Agustus 2011), PERSIS berlebaran hari Rabu (31 Agustus), sedangkan NU masih menunggu keputusan pemerintah.
Pimpinan Pusat Muhammadiyah telah memastikan dan meminta izin untuk menuntaskan Ramadhan yang jatuh pada 1 Syawal 1432 Hijriah atau Hari Raya Idul Fitri 2011 jatuh pada 30 Agustus 2011. Ketetapan ini sesuai dengan surat edaran PP Muhammadiyah Nomor 375/MLM/I.0/E/2011 tentang Penetapan Hasil Hisab Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah 1432 Hijriah. Keputusan itu berdasarkan pada metode hisab haqiqi wujudul hilal yang dilakukan oleh Majelis Tarjih PP Muhammadiyah, berpatokan pada ilmu hisap dan ilmu falaq sesuai Al-Quran dan hadits.
Sementara kementerian dan para tokoh agama Islam mendengarkan pemaparan mengenai posisi hilal atau bulan pada petang hari di berbagai daerah oleh Anggota Badan Hisab Rukyat Kementerian Agama RI dari Planetarium, Cecep Nurwendaya. Dalam presentasinya, Cecep menjelaskan, bahwa dari 22 sistem penentuan posisi hilal, mayoritas melihat posisi hilal belum mencapai 2 derajat sebagai syarat mulainya bulan baru. Oleh karena itu, hari raya Idul Fitri diperkirakan memang jatuh pada tanggal 31 Agustus.
Aku kemudian merasa tertegun dengan kembali adanya perbedaan pendapat penentuan hari Raya Idul Fitri tersebut. Sehingga membuatku sejenak merenung dan bertanya-tanya dalam hati, bahwa mengapa dengan kemajuan teknologi yang begitu pesat seperti saat ini justru untuk mempertemukan dan mempersatukan pendapat yang berbeda justru makin sulit? Apa iya, pemerintah tak mampu memunculkan dan menunjuk satu solusi tentang cara dan mekanisme yang akurat dan meyakinkan dalam menentukan 1 Syawal tersebut: bahwa ini loh petunjuk akuratnya, saudara-saudara bisa lihat pergerakan bulan yang telah nampak pada dua derajat … dst?!
Sehingga dengan kembali adanya perbedaan penentuan dan penetapan hari lebaran Idul Fitri tahun ini, membuat banyak umat Muslim di tanah air merasa tak punya pengangan pasti. Kondisi riil yang terjadi di masyarakat adalah terlihat tidak sedikit umat Muslim yang belum melaksanakan shalat Idul Fitri tetapi sudah tidak menunaikan ibadah puasa. Sementara sebagiannya (termasuk aku) merasa “seakan” harus berpuasa dan berlebaran karena adanya perbedaan, seakan bukan karena (merasa) ingin memperkuat dan memperkokoh persatuan dan kesatuan antar sesama Muslim. Bukti dan nyatanya, ada saudara-saudara kita yang lebih dulu mengemakan takbir, sementara yang lainnya hanya “harus” terdiam karena berpuasa. Dan anehnya, kita merasa “bangga” dengan perbedaan ini. Semoga tahun depan kita tak lagi berbeda. Wallahu Alam Bishawab.