(AMS, opini)
Kasus dugaan korupsi yang disinyalir dilakukan oleh sejumlah elit atau petinggi Partai Demokrat (PD) saat ini nampaknya makin sulit menemui jalan exit. Pasalnya, hingga kini masalah yang melilit partai penguasa tersebut terasa makin nampak berbelit-belit, dan terkesan diwarnai dengan aksi berkelit dengann mencoba memunculkan pembelaan serta tudingan satu sama lain. Hingga, masalah ini pun terasa amat pelit untuk mencapai kebenaran dengan berbagai hal yang amat misterius di dalamnya. Bahkan, masalahnya kini seakan coba dialihkan ke persoalan lainnya.
Padahal, semua orang tahu, bahwa masalah sesungguhnya adalah berawal dari adanya temuan dugaan penyimpangan proyek Wisma Atlet dan Hambalang yang dilakukan oleh sejumlah elit PD. Jika dugaan kasus ini benar, maka Demokrat tentunya adalah partai yang amat rapuh, dan harus dengan jantan mempertanggungjawabkannya di hadapan hukum.
Sayangnya, proses hukum terhadap masalah ini mulai diragukan oleh banyak kalangan karena adaya beberapa hal, di antaranya adalah kian berlarut-larutnya para penegak hukum dalam mengambil sikap dan langkah inisiatif secara normatif, misalnya aparat hukum (termasuk KPK) nampaknya enggan melanjutkan proses hukumnya lebih jauh sebelum menghadirkan Nazaruddin.
Alasan tersebut, menurut banyak pengamat dan pakar hukum, adalah hal yang mengada-ada. Sebab, proses hukum harus tetap bisa dilakukan tanpa harus lebih dulu menghadirkan Nazaruddin, yakni dengan melakukan penyelidikan (bukan penyidikan) atas apa yang telah dibeberkan dan diungkapkan oleh Nazaruddin. Tapi sayangnya, aparat hukum malah terkesan sulit mengambil langkah inisiatif, yang selanjutnya hal ini membuat banyak pihak menimbulkan pertanyaan, bahwa boleh jadi aparat hukum sudah di-remote oleh partai penguasa itu?
Dugaan masyarakat terhadap aparat hukum yang seakan sudah dikendalikan oleh PD itu pun semakin bisa dipercaya. Bagaimana tidak, permintaan Anas Urbaningrum agar dirinya diperiksa di Blitar malah direstui oleh pihak kepolisian.
Mengetahui adanya perlakuan istimewa terhadap Anas ini, pakar hukum Adnan Buyung Nasution geleng-geleng kepala. “Itu (pemeriksaan di Blitar) sangat memalukan, dia (Anas) yang ngadu kan dia yang melaporkan, harusnya dia yang dipanggil menyerahkan semua datanya ke mabes polri,” ujar Adnan Buyung Nasution usai konferensi pers bersama Asosiasi Pilot Garuda di Restoran, Pulau Dua, Jl Gatot Subroto, Rabu (27/7/2011).
Hal ini juga mengundang pertanyaan yang sangat besar dari anggota Komisi III DPR dari Fraksi PKS, Aboe Bakar Al Habsy, kepada Rakyat Merdeka Online , Kamis, 28/7. Aboe mempertanyakan, kenapa laporan pencemaran nama baiknya sedemikian penting sehingga Mabes Polri mengeluarkan anggaran khusus untuk mengirim tim ke Blitar?
Aboe lalu membandingkan pemeriksaan Anas dengan penanganan laporan Mahfud MD tentang surat palsu Mahmakah Konstitusi (MK). Laporan Ketua MK itu ditelantarkan dan Mahfud MD harus bolak-balik ke Mabes Polri untuk membuat laporan yang sesuai standar Polri.
“Dan kalau anggarannya disediakan Anas, berarti tidak ada equality before the law, bahasa pasarannya hukum kita dapat dibeli. Gimana nanti kalo Nazarudin minta diperiksa di Argentina dan dia sediakan semua akomodasi penyidik?” tambah Aboe.
Mengetahui hal ini, Polri pun menjadi sasaran protes. Tapi anehnya, malah KPK yang “diserang” oleh Marzuki Alie. Hebat, masalah yang melilit para elit PD ini pun makin berbelit-belit, lalu berkelit ke permasalahan lain.