(AMS, opini)
APARAT hukum, khususnya pihak kepolisian punya standar dan prosedur dalam melaksanakan tugasnya tanpa memandang bulu. Sebab, aparat hukum pasti sangat memahami, bahwa setiap warga negara Indonesia punya kedudukan yang sama di hadapan hukum dan pemerintahan. Artinya, di depan hukum, tidak ada warga kelas satu, kelas dua, dan sebagainya.
Sayangnya, pihak kepolisian beserta aparat hukum lainnya tak jarang mempertontonkan keberpihakannya kepada kelompok-kelompok tertentu saja yang dianggap memiliki kekuasaan. Misalnya, pada Selasa (26/7/2011), sejumlah polisi dengan tanpa beban sedikit pun berangkat dari Jakarta menuju Blitar untuk memeriksa Anas Urbaningrum sebagai pelapor. Padahal, Mabes Polri sudah menjadualkan pemeriksaannya nanti pada hari Rabu (27/7/2011).
Sehingga, sejumlah kalangan pun menilai, bahwa mungkin karena mentang-mentang sebagai Ketua Umum Partai Demokrat (PD), Anas Urbaningrum merasa bisa seenaknya mengatur aparat hukum untuk bisa memeriksanya di mana saja ia berada.
IPW (Indonesia Police Watch) misalnya, mengaku sangat prihatin dengan kondisi Polri seperti ini. Apalagi adanya pernyataan Kabareskrim Polri yang tidak tahu-menahu soal pemeriksaan Anas di Blitar. “Hal ini makin menunjukkan Polri sudah terbelah dalam polarisasi politik antara pendukung Partai Demokrat dan kelompok yang anti Partai Demokrat,” tutur Koordinator Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S Pane dalam rilis yang diterima Tribunnews.com, Sabtu (30/7/2011).
Jika ini dibiarkan, kata Neta, ke depan Polri dalam bahaya polarisasi politik praktis. “Untuk itu kasus Anas harus diusut tuntas, ditelusuri siapa pejabat Polri yang sudah diperalat (diperbudak) Anas, untuk kemudian ditindak tegas,” tulis Neta.
Kasus pemeriksaan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum di Blitar menunjukkan Polri makin gampang dipecundangi kekuatan partai politik (parpol). Kasus ini menunjukkan juga bahwa Polri tidak independen dan tidak profesional. “Anas sebagai Ketua Umum parpol penguasa sudah berhasil memperalat Polri untuk menunjukkan arogansi dan powernya serta memberi sinyal bahwa dia tidak akan tersentuh meski Nazarudin telah membeberkan kasus korupsinya,” tulis Neta.
Tak hanya Neta, pakar hukum Adnan Buyung Nasution pun amat menyayangkan polri yang terkesan menjadikan dirinya pelacur, dan tentunya itu adalah hal yang amat memalukan dalam dunia hukum. “Itu (pemeriksaan di Blitar) sangat memalukan, dia (Anas) yang ngadu kan dia yang melaporkan, harusnya dia yang dipanggil menyerahkan semua datanya ke mabes polri,” ujar Adnan Buyung Nasution usai konferensi pers bersama Asosiasi Pilot Garuda di Restoran, Pulau Dua, Jl Gatot Subroto, Rabu (27/7/2011).
Ini sangat berbeda dengan apa yang dialami oleh Mahfud MD selaku Ketua Mahkamah Konstitusional (MK) yang harus bolak-balik ke Mabes Polri untuk membuat laporan yang sesuai standar Polri tentang kasus surat palsu MK.
Dengan gampangnya Anas mengatur-atur pihak kepolisian, maka jangan salahkan jika rakyat memunculkan penilaian miring terhadap aparat hukum di lembaga hukum lainnya di negeri ini yang terkesan telah dijadikan pelacur dan diperbudak oleh kekuasaan.
Jika aparat hukum tak ingin disebut pelacur hukum yang telah diperbudak oleh kekuasaan, maka buktikan dengan tegas dengan penuh keberanian yang profesional dan independen untuk segera menyeret nama-nama elit partai politik yang diduga maupun yang tersangkut dalam masalah korupsi. Apalagi tersangka Nazaruddin telah menyebut sejumlah nama yang kini berada dalam lingkar kekuasaan. Nah, tunggu apalagi?
Dan jika aparat hukum berhasil menuntaskan masalah tersebut sebagaimana yang diharapkan oleh rakyat, maka rakyat pun tentunya akan tersenyum sambil berkata: “Aparat hukum ternyata pelacur yang diperbudak oleh kedaulatan Rakyat demi kebenaran dan Keadilan”.