(AMS, opini)
KEADAAAN yang meresahkan di tanah air hingga kini boleh dikata tak sedikit pun berubah, -padahal-, kemarin-kemarin bencana alam (tsunami, gempa, tanah-longsor, banjir, kecelakaan di darat dan di laut serta di udara) telah dimunculkan secara bertubi-tubi sebagai peringatan langsung dari Sang Maha Kuasa,-yang mendatangkan kehancuran dan korban yang tidak sedikit-.
KEADAAAN yang meresahkan di tanah air hingga kini boleh dikata tak sedikit pun berubah, -padahal-, kemarin-kemarin bencana alam (tsunami, gempa, tanah-longsor, banjir, kecelakaan di darat dan di laut serta di udara) telah dimunculkan secara bertubi-tubi sebagai peringatan langsung dari Sang Maha Kuasa,-yang mendatangkan kehancuran dan korban yang tidak sedikit-.
Bencana alam, seakan hanya sebagai tontonan dari episode cerita dalam sinetron TV, membekas sesaat, lalu hilang seketika, tak merekat sedikit pun.
Bencana alam memang hanya sebuah peringatan, ia bukan bencana atau malapeta yang sebenarnya, karena malapetaka yang sesungguhnya adalah, ketika manusia tidak mengambil hikmah dari peringatan yang diperlihatkan oleh Tuhan kepadanya.
Maka lihat dan saksikanlah kondisi apa yang terjadi selanjutnya ketika bencana alam itu tak banyak diambil hikmatnya? Negeri ini seakan semakin kacau balau, suara ketawa dan menangis sudah seakan terdengar sama merdunya, sehingga wajah yang tersenyum dan bersedih pun kini sudah tak dapat lagi dibedakan. Sebab rakyat sendiri sudah sulit membedakan mana pejabat dan mana penjahat, karena semuanya menyatu dalam nafsu keserakahan yang tak pernah berujung.
Inilah malapetaka yang sesungguh, di saat Tuhan telah memberikan bencana alam, manusia tak bisa menangkapnya dengan pikiran agar dapat segera memperbaiki moralnya.
Moral yang baik adalah sebuah kemenangan dalam pertarungan melawan nafsu. Sayangnya, ketika bencana alam telah banyak dihadirkan, moral pun nampaknya tak kunjung membaik, bahkan semakin terpuruk dan kotor. Akibatnya, negeri ini terasa semakin jauh dari kemakmuran, ketenteraman dan kedamaian. Di mana-mana tak jarang terlihat dan terdengar banyak jeritan penderitaan; mulai jeritan dari perut rakyat fakir-miskin yang kelaparan, jeritan kesakitan dari korban kriminal, jeritan kedinginan dan kepanasan rakyat dari tenda-tenda karena kehilangan tempat tinggal, jeritan tuntutan dari mahasiswa yang berdemonstrasi, hingga jeritan pedagang kaki lima yang tergusur.
Pada sisi lain, juga tak jarang terdengar jeritan kenikmatan busuk; mulai jeritan dari sejumlah pejabat yang sedang menikmati narkoba, jeritan koruptor yang berusaha menyumbat mulut sejumlah penegak hukum, hingga jeritan politikus yang saling tuding-menuding untuk memperebutkan kekuasaan. Sampai-sampai, negeri kita kini penuh dengan jeritan, tak luput presiden pun pernah ikut curhat dan menjerit.
Kalau saja kita semua mau menghilangkan jeritan-jeritan itu dan berusaha bangkit untuk meninggalkan kebodohan akibat nafsu yang tak terkendali, maka jalan yang paling sederhana untuk dilalui adalah segera memperbaiki moral, yang tentunya harus diawali dan didahului dari petinggi negeri dan para pejabat di tanah air ini. Bukankah pejabat adalah contoh yang paling ampuh untuk diikuti oleh rakyat?
Jika memang pejabat-pejabat sulit dan tak bisa memperbaiki moralnya yang masih buruk, maka jangan harap negara dan bangsa ini bisa makmur, aman dan damai. Siapa pun yang jadi pemimpin, pasti tak akan mampu membangun negeri ini jika tidak dimulai dengan pembenahan moral dari para pejabat dan petinggi negeri.
Sehingga yang harus dilakukan oleh Presiden saat ini adalah seharusnya bersikap tegas untuk segera menyadarkan seluruh pejabat agar tidak seenaknya melakukan keangkuhan dari kewenangan yang dimilikinya. Presiden harus pertama memahami dan jujur mengakui bahwa tanpa moral dari seorang pejabat, akan sulit mewujudkan pembangunan yang diharapkan.
Selanjutnya, Presiden jangan pura-pura tidak tahu kalau sebagian besar sikap pejabat mulai di pusat hingga di daerah (mulai menteri, dirjen, deputi, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, walikota, wakil walikota, kepala dinas/badan/kantor, kepala kecamatan, hingga kepala desa/lurah) banyak yang brengsek karena angkuh bing sombong, hingga tak paham dengan jeritan dari rakyat kecil, namun di sisi lain sangat mengerti dan memaklumi dengan jeritan dari sesama pejabat/aparat yang sedang menikmati narkoba dan semacamnya (kemudian ‘mengamankannya’ tanpa diproses lebih lanjut), serta jeritan koruptor/pejabat yang berusaha menyumbat mulut sejumlah penegak hukum.
Jika pejabat-pejabat brengsek seperti ini yang dipelihara, maka presiden yang banyak disayangi rakyat sekali pun akan selalu menjerit. Kalau saja boleh beri saran, sebaiknya presiden jangan terlalu hanyut dan terpengaruh dengan umpan-politik dari para politikus, hikmah peristiwa dari bencana alam adalah hal yang tak bisa diabaikan sedikit pun untuk segera direnungi, lalu segera bertindak tegas atas nama kedaulatan yang nyata di tangan rakyat.
Peristiwa bencana alam yang dianggap sebagai malapetaka itu sebetulnya merupakan sebuah ‘kiriman peringatan’ buat seluruh pemimpin (kepala negara dan kepala daerah) yang ada saat ini.
Jika demikian, presiden harus menyudahi semua jeritan, mulai dari jeritan penderitaan karena kelaparan, jeritan ketakutan karena teror, hingga jeritan kenikmatan busuk itu. Pasangan Presiden saat ini seharusnya tak perlu segan-segan bertindak jika itu adalah suara moral, untuk perbaikan moral pula, tapi ini hendaknya dilakukan bukan karena tekanan politik yang tak bermoral.
Ini memang pekerjaan berat, karena bangsa ini boleh dibilang sudah dipenuhi dengan pejabat yang tidak punya moral; melakukan kongkalikong, melahap mentah-mentah uang rakyat, memperkaya pribadi dan kelompoknya sendiri, seenaknya main tunjuk pengerjaan proyek dengan harapan bisa mendapat fee tambahan tunjangan jabatannya. Dan pejabat brengsek seperti ini banyak bertebaran di daerah-daerah.
Kasihan rakyat! seharusnya para pejabat bisa tahu dan hendaknya dapat membedakan mana rakyat kecil, menengah dan mana kalangan atas, lalu menentukan mana yang akan diprioritaskan!
Yang terjadi sekarang adalah para pejabat banyak yang berlomba-lomba untuk cenderung menghabiskan anggaran negara/daerah setahun tanpa memikirkan seberapa besar manfaat yang ditimbulkan buat rakyat kecil. Bahkan umumnya, pejabat-pejabat yang belum setahun dilantik pun (kebanyakan eksekutif dan legislatif) tiba-tiba sudah mampu membeli mobil mewah dan membangun rumah laksana istana.
Pertanyaannya sekarang adalah, apakah Presiden kita saat ini juga adalah termasuk pejabat brengsek atau pejabat yang disayang oleh rakyat?
Pertanyaan ini tak perlu buru-buru dijawab. Sebab rakyat sebetulnya hanya berharap agar Presiden segera mampu membersihkan pejabat yang kotor atau menindaki pejabat yang angkuh, sombong dan pendendam terhadap rakyatnya. Indikatornya bisa dikaji dan dilihat dari jumlah penduduknya yang riil masih banyak hidup dalam garis kemiskinan, juga angka pengangguran yang bertambah. Dan, beri perlindungan secara penuh kepada rakyat yang berkata pahit tapi benar adanya tentang kesewenang-wenangan pejabat.
Mungkin lebih bijak jika Presiden mulai memberdayakan fungsi-kontrol dari pekerja PERS, dalam arti, segera menyikapi persoalan-persoalan yang diekspos atau yang dipublikasikan oleh media cetak maupun elektronik. Ini juga merupakan wujud kemitraan antara pemerintah dan PERS, juga sudah pasti dengan rakyat.
Yang terlihat dan yang dirasakan saat ini seakan justru “jeritan PERS” mulai dikesampingkan oleh petinggi-petinggi negara atau daerah. Padahal jeritan PERS lebih banyak menampung jeritan-jeritan rakyat kecil yang banyak “teraniaya dan dianiaya” oleh pejabat-pejabat sombong dan berhati batu.
Sehingga itu, Presiden harus segera memberdayakan fungsi kontrol PERS ini. Caranya, Presiden tak perlu repot-repot berlangganan semua media cetak untuk dibaca atau menyimak setiap tulisan atau tayangan laporan wartawan dari radio ataupun TV. Presiden cukup membuka “kotak pos khusus kontrol pembangunan” via internet bagi wartawan yang ingin mengirimkan hasil kontrol-sosialnya berupa tulisan atau rekaman penayangannya dari masing-masing media. Selanjutnya, Presiden harus punya waktu untuk membuka kotak pos tersebut.
Dengan begitu, Presiden setidaknya bisa tahu bahwa ada masalah yang terekspos dan sudah menyebar di masyarakat. “…dan silakan Bapak Presiden yang membijaksanainya, tentang perlukah atau tidak untuk ditindaki!”. Sebagai Presiden, hendaknya jangan terlalu bergantung pada laporan dari para menteri atau mungkin dari para penjilat yang ada.
Dari upaya pemberdayaan kontrol-sosial dari kalangan PERS ini, setidaknya pula ada manfaat dan nilai tambah yang bisa terwujudkan, yakni pertama: bisa menggairahkan semangat para pekerja PERS untuk bisa bekerja secara profesional, terbuka, independen dan bertanggung-jawab membantu pemerintah dan rakyat.
Yang kedua: bisa membuat para pejabat untuk ekstra hati-hati alias jangan dan agar tidak lagi seenaknya melakukan tindakan-tindakan yang kurang terpuji, seperti merampas hak-hak rakyat melalui korupsi dan sebagainya.
Di sisi lain, Presiden tentu bisa mempertimbangkan untuk segera membentuk sebuah lembaga pemantau dan pengontrol pelaksanaan pembangunan di daerah, termasuk menampung keluhan atau permintaan rakyat kecil yang terabaikan atau tidak terakomodir tanpa alasan-alasan yang rasional dari pihak pemda, padahal semisalnya, ada anggaran yang tersedia untuk memenuhi permintaan rakyat kecil tersebut.
Lembaga pengontrol ini bisa saja memakai sebutan atau nama: “Komite Rakyat Pemantau Pelaksanaan Pembangunan Daerah (KRP3D)”. Kemudian dengan ketentuan, bahwa seluruh anggotanya hanya berasal dari unsur PERS dan LSM yang bermoral, profesional, dan independen, –yang tentu saja dilindungi oleh undang-undang.
Namun inti dari semua persoalan ataupun masalah yang ada di negeri tercinta ini adalah bersimpul pada moral dan mentalitas para pejabat yang kebanyakan mulai merosot dan rontok akibat terlalu diperbudak oleh MATERI (-Money: uang, -Accolade: pujian, -Taste: selera, -Echelon: eselon, -Raise: kenaikan gaji, -Imperious: sombong karena kuasa), dan seterusnya.