Thursday 8 September 2016

Strategi Poros Maritim dan Illegal-Fishing


INI adalah transkip Keynote Speech Dr. Rizal Ramli selaku Menteri Koordinator Maritim dan Sumber Daya pada pembukaan Rakornas Illegal Fishing, di Hotel Borobudur, Jakarta, 30 Juni 2016:

Apa yang dilakukan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dengan dukungan Angkatan Laut (AL) dan kawan-kawan semua adalah sesuatu yang luar biasa. Memang, sebagian langkah yang diambil kontroversial. Tetapi kadang-kadang kalau kita mau melakukan perubahan, shock therapy dan kontroversial itu perlu. Setelah itu baru kita benahi sistemnya. Karena tanpa shock therapy, tanpa tindakan kontroversi, ya business as usual saja.

Presiden Jokowi menganggap Poros Maritim sangat penting. Ini benar sekali. Indonesia adalah negara salah satu negara maritim paling besar. Garis pantai kita termasuk yang paling panjang di dunia. Seharusnya kita kuat di laut. Karena siapa yang menguasai laut, akan menguasai dunia.

Dulu, pada abad ke-6, Portugal yang penduduknya hanya 1 juta orang mampu menguasai dunia. Itu terjadi karena mereka menguasai laut. Padahal yang menjadi pelautnya kurang dari 100.000 orang. Tapi mereka mempunyai keberanian sebagai pelaut. Berani mengambil risiko.
Itulah sebabnya mereka akhirnya mampu menguasai Goa di India. Flipina dan Indonesia bagian Timur juga mereka kuasai. Bahkan negara negara paling besar di Pantai Afrika, Mozambik dan beberapa negara lainnya mereka kuasai. Bayangkan, modalnya hanya kurang dari 100.000 pelaut, tapi bisa menguasai dunia.

Belakangan Spanyol yang punya penduduk lebih banyak mengikuti jejak Portugal. Portugal pun kalah pengaruhnya. Spanyol menguasai laut, Spanyol menguasai dunia. Kemudian pada abad ke 18-19, British rule the sea, British rule the world.

Begitu juga abad ke-20 yang menjadi abadnya Amerika. Ini terjadi terutama juga karena pengaruh kekuatan maritim angkatan laut Amerika di seluruh dunia.

Abad ke-21 adalah abadnya Asia. Salah satu di antaranya yang makin besar dan makin kuat secara ekonomi, politik, dan militer adalah China. Mereka juga semakin agresif, semakin atraktif. India juga makin besar dan kuat. Kami ingin Indonesia menjadi salah satu negara yang akan menguasai wilayah ini. Tapi syaratnya kita harus menguasai maritim.

Salah satu strategi supaya kita berhasil membentuk poros maritim adalah kita harus mengajarkan anak anak muda kita cinta laut.

Pada abad ke-16 Majapahit punya pengaruh cukup besar, sehingga sampai Malaka. Sriwijaya juga pengaruhnya sampai ke Campa, Thailand.

Tiga bulan yang lalu kami kirim prototipe kapal Majapahit ke Tokyo dengan beberapa awak saja. Sekarang masih dalam perjalanan ke Tokyo.

Di zaman Majapahit, hanya dengan alat yang sangat sederhana saja mereka bisa sampai ke Tokyo. Ini menunjukan bahwa pelaut-pelaut kita juga hebat.

Tiap tahun Kantor Kemenko Maritim dan Sumber Daya bekerjasama dengan Angkatan Laut mengirim 2.000 pelajar dan mahasiswa untuk keliling Indonesia dengan naik kapal. Karena anak-anak muda kita harus belajar mencintai laut. Ternyata mayoritas pemuda mahasiswa tersebut belum pernah naik kapal laut sama sekali.

Kita juga ingin memanfatkan sebesar-besarnya sumber daya alam (SDA) dan sumber daya laut (SDL) kita untuk rakyat dan bangsa kita. Selama puluhan tahun SDA dan SDL kita dicuri orang-orang asing. Mereka menggunakan kapal-kapal asing yang jumlahnya lebih dari 7000 kapal.

Ibu Susi (Menteri Kelautan dan Perikanan) dengan bantuan teman-teman dari AL berhasil menghentikan pencurian ini sacara besar-besaran. Prsiden juga mengucapkan selamat. Kami semua merasa bangga.

Memang tidak masuk akal buat kita, melihat beberapa negara tetangga yang lautnya sedikit sekali tapi bisa menjadi eksportir ikan terbesar ke-2 dan ke-5 dunia. Sedangkan kita yang punya laut sangat luas, harus puas di posisi belasan saja. Kalau ikan-ikan kita tidak mereka curi, kita pasti bisa nomor dua atau nomor tiga. Mudah-mudahan tidak waktu terlalu lama produk eksportir kita akan mencapai cita-cita itu.

Upaya penghentian pencurian ikan yang dilakukan ibu Susi dan teman-teman Angkatan Laut memberi banyak sekali manfaat. Antara lain, ikan hasil tangkapan nelayan tradisional kita jadi berlimpah. Beberapa bulan lalu kami ke Sibolga. Di sana terungkap, biasanya mereka hanya dapat 200 ton/hari. Sekarang mereka bisa mendapat sampai 400 ton. Hal menggembirakan ini juga terjadi di beberapa wilayah lain di seluruh Indonesia. Hasil tangkapan nelayan tradisional jadi lebih banyak.

Sebulan yang lalu kami ke Belawan, Sumut. Nelayannya bercerita, biasanya mereka harus berlayar tiga jam baru bisa menemukan ikan. Sekarang hanya 1 jam bisa pulang lebih cepat dengan ikan hasil tangkapan yang banyak. Jadi buat nelayan tradisional, kebijakan pemerintah yang memerangi illegal fishing sangat membantu kehidupan mereka.

Tetapi memang ada masalah soal capacity. Potensi ikan tangkap lestarinya mungkin 7,5 juta ton atau lebih. Dulu, ada lebih dari 7.000 kapal asing dengan kapasitas yang besar mencuri ikan-ikan kita. Indonesia dirugikan sekitar US$20 Miliar/tahun. Sejak mereka dihentikan operasinya, kapalnya ditangkap, disita, dan ditenggelamkan, memang ada kekurangan kapasitas.

Ada sebagian pihak yang menganggap ini tidak benar, karena kita menangkap dan menenggelamkan kapal asing. Mereka berpendapat harus kembali ke rezim lama, yaitu para pemodal besar dan banyak lagi kapal asing dibiarkan masuk untuk menangkap ikan kita.

Kemarin di sidang kabinet kami tegaskan kembali, bahwa kita tidak boleh kembali ke rezim lama. Syukur alhamdulillah, Presiden setuju. Bahwa dengan kebijakan memerangi illegal fishing terjadi kekurangan kapasitas, yes. Tapi itu tidak berarti kita harus kembali ke rezim lama hanya untuk memanfaatkan kapasitas ikan kita yang berlimpah.

Solusinya, kita akan mencari cara agar bisa memenuhi kapasitas itu. Misalnya, di Natuna. Kapasitas tangkap nelayan kita saat ini baru sekitar 9,5% dari total potensi penangkapan ikan lestari. Ada negara yang mengumumkan secara resmi nine-dash line, di mana Natuna sampai Karimata termasuk di dalamnya. Ini jelas bukan sekadar tactical move. Kami melihat ini lebih banyak upaya untuk melakukan power projection atau proyeksi kekuatan masuk ke wilayah kita.

Ada yang usul agar kita bekerjasama saja dengan negara besar tersebut. Selain akan memaksimalkan kapasitas tangkap kita, juga agar dengan kerjasama tersebut mereka mengakui integritas laut kita. 

Pada sidang kabinet kemarin, kami menegaskan tidak ada garansi mereka akan mengakui kedaulatan wilayah laut kita, walau kita memberikan kesempatan untuk eksploitasi komersial di laut Natuna. Tidak ada jaminan negara-negara yang punya kepentingan strategis akan menghentikan niatnya untuk semakin atraktif menguasai wilayah kita. Karena Kalau dibiarkan pendekatan komersial‎ itu, makin lama makin banyak nelayan asing yang datang. Penetrasi mereka semakin luas. Apalagi ternyata mereka bukan nelayan biasa. Banyak dari mereka yang juga sebetulnya aparat militer atau milisi.

Di sidang kabinet kemarin, kami katakan wilayah laut kita telah diakui oleh dunia internasional. Sudah diakui PBB, sudah diakui oleh UNCLOS. Buat kita, ini berarti tidak ada negosiasi menyangkut wilayah kedaulatan bangsa.

Meski demikian, kita tidak bisa lagi membiarkan situasi di Natuna seperti selama ini. Kita harus memanfaatkannya dengan baik, agar keberadaan kita di sana makin kuat dan makin mendukung integritas wilayah kita. Oleh karena itu Pemerintah memutuskan melakukan beberapa hal penting. Antara lain:

Pertama, mendorong industri perikanan. Caranya bukan kembali ke rezim yang lama, tapi dengan meningkatkan kapasitas tangkap kapal-kapal kita. Untuk itu, Presiden minta agar kapal-kapal yang izinnya belum beres segera diselesaikan. Ibarat kendaraan, BKPB-nya menjadi kewenangan Kementerian Perhubungan. Sedangkan SIM-nya di bawah Kementerian Kelautan dan Perikanan. Presiden telah menginstruksikan agar kedua kementerian itu segera menuntaskan masalah perizinannya, agar kapal-kapal kita bisa melaut dan menangkap ikan di kawasan Natuna.

Kedua, di laut Utara Jawa, mulai dari Banten, Pati, Jepara hingga Jawa Timur, cukup banyak kapal kayu tradisional yang bobotnya lebih 30 DWT dengan jangkauan 100 mil‎ lebih. Selama ini mereka tidak diberi izin menangkap ikan di Kepulauan Natuna. Rezim yang lama hanya memberi izin kapal-kapal asing. Saya berterima kasih kepada ibu Susi yang telah setuju memberi izin kapal-kapal kita dari pantai utara Jawa yang bobotnya di atas 30 ton untuk menangkap ikan di Kepulauan Natuna.

Ketiga, kemarin di kabinet juga kami minta kepada menteri BUMN agar bank-bank pemerintah memfasilitasi pemberian modal kerja bagi perusahan-perusahan perkapalan nasional kita. Tapi harus di-cek dengan benar, bahwa mereka betul-betul milik nasional, bukan yang hanya benderanya Indonesia, tapi kapalnya milik asing. Dengan cara seperti ini, kita bisa meningkatkan kapasitas tangkap kita di Kepulauan Natuna, sehingga ekonomi di sana bisa tumbuh lebih cepat.

Keempat, juga diputuskan kita akan membuat beberapa kota ikan percontohan di Kepulauan Natuna dan Anambas. Kota-kota ikan itu akan dilengkapi cold storage dan berbagai fasilitas lainnya.

Bersama ibu Susi, kami juga akan membangun tempat lelang ikan seperti fish market di Tokyo. Mungkin tidak atau belum sehebat itu. Tapi seperti yang Bapak/Ibu ketahui, fish market paling hebat ada di Tokyo. Namun tahukah kita, bahwa ikan yang dijual di sana sebagian besar berasal dari Indonesia?

Berdasarkan fakta ini, kenapa kita tidak membuat tempat lelang ikan yang besar dan bagus sendiri di Kepulauan Natuna. Nah, yang mau membeli ikan dari Jepang dan kawasan sekitarnya, datang ke Natuna. Jika ini terwujud, nelayan lokal dan nasional kita dapat langsung menjual ikannya di tempat lelang tersebut. Selanjutnya ikan-ikan itu bisa di ekspor ke seluruh dunia. Kami yakin, ini bukanlah mimpi. Lewat gagasan ini, mudah-mudahan ekonomi dan perikanan di Kepulauan Natuna akan hidup lebih baik.

Di luar keempat langkah tersebut, kita akan kembangkan turisme dan oil and gas industry. Di sana ada 15 konsesi‎ yang mandek. Kami akan me-review penyebab mandeknya industri migas itu. Apa karena harga di pasar internasional sedang turun atau mandek total?

Kalau mandek karena harga yang sedang turun, ini akan sementara. Nanti setelah harga membaik, mereka akan beroperasi lagi. Tapi kalau memang mandek total, kita akan cabut konsesinya. Selanjutnya akan kita berikan kepada pemain-pemain baru yang profesional dan benar-benar mampu untuk mengelola migas di sana.

Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah, soal konektivitas. Dulu, sebelum tahun 1980an, setiap kapal penumpang atau kargo yang masuk wilayah Indonesia wajib mampir ke Medan, Tanjung Priok, Surabaya, dan Makasar, baru terus ke Utara.

Tapi pada akhir 80an, konsultan Australia menganjurkan agar mengubah rute kapal. Mereka menyarankan melakukan deregulasi shipping. Caranya, kapal asing dan lokal tidak lagi wajib menyinggahi pelabuhan-pelabuhan di Indonesia Timur, khususnya Medan dan Makassar. Mereka boleh langsung ke Surabaya dan Jakarta.

Akibatnya, kapal-kapal tadi hanya berlabuh di Tanjung Priok, Jakarta, dan Tanjung Perak, Surabaya. Hal itu karena memang trafik kargonya lebih banyak ke Priok dan Perak. Mereka tidak lagi mau mampir di Medan dan Makassar.

Padahal dulu, saat kapal mampir ke Medan dan Makassar secara terjadual, para petani kecil pedagang sudah mengumpulkan barangnya di pelabuhan. Dengan begitu, arus barang dari Medan dan Makassar bisa lancar. Ini sangat membantu petani dan pedagang kecil.

Tapi begitu ketentuan wajib mampir tadi dihapuskan, yang datang hanya tramper yang didatangkan dari Singapura. Akibatnya mereka merelokasi industri dari sekitar Indonesia Timur pindah ke Surabaya. Pelabuhan di Makassar dan Medan pun lama-lama sepi. Sedangkan Surabaya tumbuh menjadi ibukota Indonesia Timur dari segi bisnis dan perdagangan.

Yang diuntungkan dari kebijakan ini adalah Singapura yang menjadi jadi transhipment utama dan terbesar di Asia Tenggara. Ini bisa terjadi karena pemerintah kita menelan bulat-bulat saran konsultan Australia.

Ini jelas tidak bisa dibenarkan. Belanda saja tidak sebodoh itu. Dulu, Belanda dulu dengan sengaja membangun itu supaya Makassar jadi pusat perdagangan Indonesia Timur dan Medan di Utara.

Itu yang sekarang ingin kita ubah. Presiden Jokowi dalam berbagai kesempatan mengatakan, pola pembangunan kita selama ini terlalu Jawa sentris. Akibatnya, terjadi perbedaan pembangunan ekonomi antarwilayah yang sangat besar antara Indonesia bagian Barat dan Indonesia bagian Timur. Presiden ingin kita tidak boleh lagi Jawa sentris. Kita harus Indonesia sentris, salah satu caranya dengan membangun connectivity. Membangun apa yang disebut sebagai poros maritim.

Saudara-saudara, pemerintahan Jokowi dalam tempo kurang dari dua tahun telah membangun lebih dari 150 pelabuhan kecil dan sedang. Beberapa di antaranya ada di Indonesia Timur. Pemerintah juga telah membangun belasan pelabuhan udara di Indonesia Timur dengan biaya setengah dari pemerintah sebelum-sebelumnya.

Coba lihat pelabuhan-pelabuhan udara yang di bangun di Indonesia Timur. Yang penting runway-nya bagus dan panjang. Gedung airport-nya memang tidak terlalu besar.Tapi lokal arsitekturnya bagus-bagus dengan biaya yang sangat efisien.

Tapi membangun pelabuhan atau airport saja tanpa regular flight dan regular shipping tidak ada artinya. Karena itu kita membuat jalur poros maritim. Ini artinya ada regular shipping, berupa 5-6 jalur ke Indonesia Timur.

Ada satu jalur dari Surabaya lewat Utara yang datang secara teratur dan terjadual. Kemudian ada jalur tengah, paling bawah lewat MPT masuk ke pelabuhan selatan. Ada 5 jalur dan 1 lagi ke Natuna kita subsidi. Dengan Poros Maritim ini, dampaknya akan sangat positif.

Memang, masih ada yang belum percaya. Masih ada yang bilang Jokowi hanya mimpi dengan Poros Maritimnya. Mohon maaf bapak/ibu, saat ini sudah ada jalur kapal regular shipping enam rute yang sebetulnya bagian dari Poros Maritim. Dampaknya juga sudah terasa positif.

Dulu disparitas harga kebutuhan pokok antara Jawa dan Indonesia Timur sangat tinggi. Ini ironis. Penduduk Indonesia Timur lebih miskin harus membeli kebutuhan pokok lebih mahal. Dengan adanya Poros Maritim, disparitas harga itu sudah semakin mengecil. Berdasarkan data statistik yang bisa dilihat di website kami, disparitasnya sudah turun lumayan besar, sekitar 30%-40%.

Dalam jangka jangka menengah dan panjang, dengan adanya jalur regular dan terjadual, pedagang dan petani kecil akan semakin mudah membawa barangnya keluar daerah. Ini akan menurunan cost travel-nya. Harga semen yang di Indonesia Timur, khususnya di Papua, mencapai Rp1 juta/zak, bisa turun secara signifikan. Kalau pun ada selisih harga, paling hanya Rp50.000-Rp100.00 saja.

Tahun depan kami akan lengkapi dengan jalur logistik udara agar disparitas harga dengan di pegunungan Papua bisa ditekan. Ini akan melengkapi konsep Poros Maritim. Dengan angkutan udara, harga berbagai barang kebutuhan pokok di pegunungan terpencil bisa lebih murah.

Yang terakhir, terkait dengan pendidikan di bidang maritim, kita harus kembangkan vocational training. Sekolah pelaut kita sudah lumayan bagus. Pelaut kita disukai di dalam maupun luar negeri, baik kapal kargo maupun penumpang. Pelaut Indonesia juga dikenal tidak membuat masalah. Mereka tidak banyak yang mabuk atau berkelahi. Pelaut kita dikenal cinta damai.

Bapak/ibu, saya mohon maaf karena sambutan saya panjang sekali. Tapi saya ingin mengucapkan selamat dan salut apa yang telah KKP dan kawan-kawan Angkatan Laut capai dalam hal "perang" melawan illegal fishing. Juga diplomasi internasional kita makin bagus. Dunia internasional semakin menyadari, bahwa perang melawan illegal fishing ini perlu. Bahkan Indonesia sekarang termasuk paling depan dalam memerangi.

Kami ucapkan terima kasih untuk kekompakan Tim Satgas illegal fishing. Biasanya jarang kita bisa kompak. Ego sektoralnya tinggi sekali. Tapi dalam kasus Satgas ini, kekompakan luar biasa. Prestasinya juga luar biasa. Selamat.
------
Jakarta, 30 Juni 2016.
DR. Rizal Ramli,
Menteri Koordinator Maritim dan Sumber Daya RI