INI adalah transkip Keynote Speech Dr. Rizal Ramli selaku Menteri
Koordinator Maritim dan Sumber Daya pada pembukaan Rakornas
Illegal Fishing, di Hotel Borobudur, Jakarta, 30 Juni 2016:
Apa yang dilakukan oleh Kementerian
Kelautan dan Perikanan (KKP) dengan dukungan Angkatan Laut (AL) dan kawan-kawan
semua adalah sesuatu yang luar biasa. Memang, sebagian langkah yang diambil
kontroversial. Tetapi kadang-kadang kalau kita mau melakukan perubahan, shock
therapy dan kontroversial itu perlu. Setelah itu baru kita benahi sistemnya.
Karena tanpa shock therapy, tanpa tindakan kontroversi, ya business as usual
saja.
Presiden Jokowi menganggap Poros
Maritim sangat penting. Ini benar sekali. Indonesia adalah negara salah satu negara
maritim paling besar. Garis pantai kita termasuk yang paling panjang di dunia.
Seharusnya kita kuat di laut. Karena siapa yang menguasai laut, akan menguasai
dunia.
Dulu, pada abad ke-6, Portugal
yang penduduknya hanya 1 juta orang mampu menguasai dunia. Itu terjadi karena
mereka menguasai laut. Padahal yang menjadi pelautnya kurang dari 100.000
orang. Tapi mereka mempunyai keberanian sebagai pelaut. Berani mengambil
risiko.
Itulah sebabnya mereka akhirnya mampu menguasai Goa di India. Flipina
dan Indonesia bagian Timur juga mereka kuasai. Bahkan negara negara paling
besar di Pantai Afrika, Mozambik dan beberapa negara lainnya mereka kuasai.
Bayangkan, modalnya hanya kurang dari 100.000 pelaut, tapi bisa menguasai
dunia.
Belakangan Spanyol yang punya penduduk
lebih banyak mengikuti jejak Portugal. Portugal pun kalah pengaruhnya. Spanyol
menguasai laut, Spanyol menguasai dunia. Kemudian pada abad ke 18-19, British
rule the sea, British rule the world.
Begitu juga abad ke-20 yang menjadi
abadnya Amerika. Ini terjadi terutama juga karena pengaruh kekuatan maritim
angkatan laut Amerika di seluruh dunia.
Abad ke-21 adalah abadnya Asia.
Salah satu di antaranya yang makin besar dan makin kuat secara ekonomi,
politik, dan militer adalah China. Mereka juga semakin agresif, semakin
atraktif. India juga makin besar dan kuat. Kami ingin Indonesia menjadi salah
satu negara yang akan menguasai wilayah ini. Tapi syaratnya kita harus
menguasai maritim.
Salah satu strategi supaya kita
berhasil membentuk poros maritim adalah kita harus mengajarkan anak anak muda
kita cinta laut.
Pada abad ke-16 Majapahit punya pengaruh cukup besar, sehingga
sampai Malaka. Sriwijaya juga pengaruhnya sampai ke Campa, Thailand.
Tiga bulan yang lalu kami kirim
prototipe kapal Majapahit ke Tokyo dengan beberapa awak saja. Sekarang masih
dalam perjalanan ke Tokyo.
Di zaman Majapahit, hanya dengan alat yang sangat
sederhana saja mereka bisa sampai ke Tokyo. Ini menunjukan bahwa pelaut-pelaut
kita juga hebat.
Tiap tahun Kantor Kemenko Maritim
dan Sumber Daya bekerjasama dengan Angkatan Laut mengirim 2.000 pelajar dan
mahasiswa untuk keliling Indonesia dengan naik kapal. Karena anak-anak muda
kita harus belajar mencintai laut. Ternyata mayoritas pemuda mahasiswa tersebut
belum pernah naik kapal laut sama sekali.
Kita juga ingin memanfatkan
sebesar-besarnya sumber daya alam (SDA) dan sumber daya laut (SDL) kita untuk
rakyat dan bangsa kita. Selama puluhan tahun SDA dan SDL kita dicuri
orang-orang asing. Mereka menggunakan kapal-kapal asing yang jumlahnya lebih
dari 7000 kapal.
Ibu Susi (Menteri Kelautan dan Perikanan) dengan bantuan teman-teman dari AL berhasil
menghentikan pencurian ini sacara besar-besaran. Prsiden juga mengucapkan
selamat. Kami semua merasa bangga.
Memang tidak masuk akal buat
kita, melihat beberapa negara tetangga yang lautnya sedikit sekali tapi bisa
menjadi eksportir ikan terbesar ke-2 dan ke-5 dunia. Sedangkan kita yang punya
laut sangat luas, harus puas di posisi belasan saja. Kalau ikan-ikan kita tidak
mereka curi, kita pasti bisa nomor dua atau nomor tiga. Mudah-mudahan tidak
waktu terlalu lama produk eksportir kita akan mencapai cita-cita itu.
Upaya penghentian pencurian ikan
yang dilakukan ibu Susi dan teman-teman Angkatan Laut memberi banyak sekali
manfaat. Antara lain, ikan hasil tangkapan nelayan tradisional kita jadi
berlimpah. Beberapa bulan lalu kami ke Sibolga. Di sana terungkap, biasanya
mereka hanya dapat 200 ton/hari. Sekarang mereka bisa mendapat sampai 400 ton.
Hal menggembirakan ini juga terjadi di beberapa wilayah lain di seluruh
Indonesia. Hasil tangkapan nelayan tradisional jadi lebih banyak.
Sebulan yang lalu kami ke
Belawan, Sumut. Nelayannya bercerita, biasanya mereka harus berlayar tiga jam
baru bisa menemukan ikan. Sekarang hanya 1 jam bisa pulang lebih cepat dengan
ikan hasil tangkapan yang banyak. Jadi buat nelayan tradisional, kebijakan
pemerintah yang memerangi illegal fishing sangat membantu kehidupan mereka.
Tetapi memang ada masalah soal
capacity. Potensi ikan tangkap lestarinya mungkin 7,5 juta ton atau lebih.
Dulu, ada lebih dari 7.000 kapal asing dengan kapasitas yang besar mencuri
ikan-ikan kita. Indonesia dirugikan sekitar US$20 Miliar/tahun. Sejak mereka
dihentikan operasinya, kapalnya ditangkap, disita, dan ditenggelamkan, memang
ada kekurangan kapasitas.
Ada sebagian pihak yang
menganggap ini tidak benar, karena kita menangkap dan menenggelamkan kapal
asing. Mereka berpendapat harus kembali ke rezim lama, yaitu para pemodal besar
dan banyak lagi kapal asing dibiarkan masuk untuk menangkap ikan kita.
Kemarin di sidang kabinet kami
tegaskan kembali, bahwa kita tidak boleh kembali ke rezim lama. Syukur
alhamdulillah, Presiden setuju. Bahwa dengan kebijakan memerangi illegal
fishing terjadi kekurangan kapasitas, yes. Tapi itu tidak berarti kita harus
kembali ke rezim lama hanya untuk memanfaatkan kapasitas ikan kita yang
berlimpah.
Solusinya, kita akan mencari cara agar bisa memenuhi kapasitas itu.
Misalnya, di Natuna. Kapasitas tangkap nelayan kita saat ini baru sekitar 9,5%
dari total potensi penangkapan ikan lestari. Ada negara yang mengumumkan secara
resmi nine-dash line, di mana Natuna sampai Karimata termasuk di dalamnya. Ini
jelas bukan sekadar tactical move. Kami melihat ini lebih banyak upaya untuk
melakukan power projection atau proyeksi kekuatan masuk ke wilayah kita.
Ada yang usul agar kita
bekerjasama saja dengan negara besar tersebut. Selain akan memaksimalkan
kapasitas tangkap kita, juga agar dengan kerjasama tersebut mereka mengakui
integritas laut kita.
Pada sidang kabinet kemarin, kami menegaskan tidak ada
garansi mereka akan mengakui kedaulatan wilayah laut kita, walau kita memberikan
kesempatan untuk eksploitasi komersial di laut Natuna. Tidak ada jaminan
negara-negara yang punya kepentingan strategis akan menghentikan niatnya untuk
semakin atraktif menguasai wilayah kita. Karena Kalau dibiarkan pendekatan
komersial itu, makin lama makin banyak nelayan asing yang datang. Penetrasi
mereka semakin luas. Apalagi ternyata mereka bukan nelayan biasa. Banyak dari
mereka yang juga sebetulnya aparat militer atau milisi.
Di sidang kabinet kemarin, kami
katakan wilayah laut kita telah diakui oleh dunia internasional. Sudah diakui
PBB, sudah diakui oleh UNCLOS. Buat kita, ini berarti tidak ada negosiasi
menyangkut wilayah kedaulatan bangsa.
Meski demikian, kita tidak bisa
lagi membiarkan situasi di Natuna seperti selama ini. Kita harus memanfaatkannya
dengan baik, agar keberadaan kita di sana makin kuat dan makin mendukung
integritas wilayah kita. Oleh karena itu Pemerintah memutuskan melakukan
beberapa hal penting. Antara lain:
Pertama, mendorong industri
perikanan. Caranya bukan kembali ke rezim yang lama, tapi dengan meningkatkan
kapasitas tangkap kapal-kapal kita. Untuk itu, Presiden minta agar kapal-kapal
yang izinnya belum beres segera diselesaikan. Ibarat kendaraan, BKPB-nya
menjadi kewenangan Kementerian Perhubungan. Sedangkan SIM-nya di bawah
Kementerian Kelautan dan Perikanan. Presiden telah menginstruksikan agar kedua
kementerian itu segera menuntaskan masalah perizinannya, agar kapal-kapal kita
bisa melaut dan menangkap ikan di kawasan Natuna.
Kedua, di laut Utara Jawa, mulai
dari Banten, Pati, Jepara hingga Jawa Timur, cukup banyak kapal kayu
tradisional yang bobotnya lebih 30 DWT dengan jangkauan 100 mil lebih. Selama
ini mereka tidak diberi izin menangkap ikan di Kepulauan Natuna. Rezim yang
lama hanya memberi izin kapal-kapal asing. Saya berterima kasih kepada ibu Susi
yang telah setuju memberi izin kapal-kapal kita dari pantai utara Jawa yang
bobotnya di atas 30 ton untuk menangkap ikan di Kepulauan Natuna.
Ketiga, kemarin di kabinet juga
kami minta kepada menteri BUMN agar bank-bank pemerintah memfasilitasi
pemberian modal kerja bagi perusahan-perusahan perkapalan nasional kita. Tapi
harus di-cek dengan benar, bahwa mereka betul-betul milik nasional, bukan yang
hanya benderanya Indonesia, tapi kapalnya milik asing. Dengan cara seperti ini,
kita bisa meningkatkan kapasitas tangkap kita di Kepulauan Natuna, sehingga
ekonomi di sana bisa tumbuh lebih cepat.
Keempat, juga diputuskan kita
akan membuat beberapa kota ikan percontohan di Kepulauan Natuna dan Anambas.
Kota-kota ikan itu akan dilengkapi cold storage dan berbagai fasilitas lainnya.
Bersama ibu Susi, kami juga akan
membangun tempat lelang ikan seperti fish market di Tokyo. Mungkin tidak atau
belum sehebat itu. Tapi seperti yang Bapak/Ibu ketahui, fish market paling hebat
ada di Tokyo. Namun tahukah kita, bahwa ikan yang dijual di sana sebagian besar
berasal dari Indonesia?
Berdasarkan fakta ini, kenapa
kita tidak membuat tempat lelang ikan yang besar dan bagus sendiri di Kepulauan
Natuna. Nah, yang mau membeli ikan dari Jepang dan kawasan sekitarnya, datang
ke Natuna. Jika ini terwujud, nelayan lokal dan nasional kita dapat langsung
menjual ikannya di tempat lelang tersebut. Selanjutnya ikan-ikan itu bisa di
ekspor ke seluruh dunia. Kami yakin, ini bukanlah mimpi. Lewat gagasan ini,
mudah-mudahan ekonomi dan perikanan di Kepulauan Natuna akan hidup lebih baik.
Di luar keempat langkah tersebut,
kita akan kembangkan turisme dan oil and gas industry. Di sana ada 15 konsesi
yang mandek. Kami akan me-review penyebab mandeknya industri migas itu. Apa
karena harga di pasar internasional sedang turun atau mandek total?
Kalau
mandek karena harga yang sedang turun, ini akan sementara. Nanti setelah harga
membaik, mereka akan beroperasi lagi. Tapi kalau memang mandek total, kita akan
cabut konsesinya. Selanjutnya akan kita berikan kepada pemain-pemain baru yang
profesional dan benar-benar mampu untuk mengelola migas di sana.
Hal lain yang tidak kalah pentingnya
adalah, soal konektivitas. Dulu, sebelum tahun 1980an, setiap kapal penumpang
atau kargo yang masuk wilayah Indonesia wajib mampir ke Medan, Tanjung Priok,
Surabaya, dan Makasar, baru terus ke Utara.
Tapi pada akhir 80an, konsultan
Australia menganjurkan agar mengubah rute kapal. Mereka menyarankan melakukan
deregulasi shipping. Caranya, kapal asing dan lokal tidak lagi wajib menyinggahi
pelabuhan-pelabuhan di Indonesia Timur, khususnya Medan dan Makassar. Mereka
boleh langsung ke Surabaya dan Jakarta.
Akibatnya, kapal-kapal tadi hanya
berlabuh di Tanjung Priok, Jakarta, dan Tanjung Perak, Surabaya. Hal itu karena
memang trafik kargonya lebih banyak ke Priok dan Perak. Mereka tidak lagi mau
mampir di Medan dan Makassar.
Padahal dulu, saat kapal mampir
ke Medan dan Makassar secara terjadual, para petani kecil pedagang sudah
mengumpulkan barangnya di pelabuhan. Dengan begitu, arus barang dari Medan dan
Makassar bisa lancar. Ini sangat membantu petani dan pedagang kecil.
Tapi begitu ketentuan wajib
mampir tadi dihapuskan, yang datang hanya tramper yang didatangkan dari
Singapura. Akibatnya mereka merelokasi industri dari sekitar Indonesia Timur
pindah ke Surabaya. Pelabuhan di Makassar dan Medan pun lama-lama sepi.
Sedangkan Surabaya tumbuh menjadi ibukota Indonesia Timur dari segi bisnis dan
perdagangan.
Yang diuntungkan dari kebijakan ini
adalah Singapura yang menjadi jadi transhipment utama dan terbesar di Asia
Tenggara. Ini bisa terjadi karena pemerintah kita menelan bulat-bulat saran
konsultan Australia.
Ini jelas tidak bisa dibenarkan.
Belanda saja tidak sebodoh itu. Dulu, Belanda dulu dengan sengaja membangun itu
supaya Makassar jadi pusat perdagangan Indonesia Timur dan Medan di Utara.
Itu yang sekarang ingin kita
ubah. Presiden Jokowi dalam berbagai kesempatan mengatakan, pola pembangunan
kita selama ini terlalu Jawa sentris. Akibatnya, terjadi perbedaan pembangunan
ekonomi antarwilayah yang sangat besar antara Indonesia bagian Barat dan
Indonesia bagian Timur. Presiden ingin kita tidak boleh lagi Jawa sentris. Kita
harus Indonesia sentris, salah satu caranya dengan membangun connectivity.
Membangun apa yang disebut sebagai poros maritim.
Saudara-saudara, pemerintahan
Jokowi dalam tempo kurang dari dua tahun telah membangun lebih dari 150
pelabuhan kecil dan sedang. Beberapa di antaranya ada di Indonesia Timur.
Pemerintah juga telah membangun belasan pelabuhan udara di Indonesia Timur
dengan biaya setengah dari pemerintah sebelum-sebelumnya.
Coba lihat
pelabuhan-pelabuhan udara yang di bangun di Indonesia Timur. Yang penting
runway-nya bagus dan panjang. Gedung airport-nya memang tidak terlalu
besar.Tapi lokal arsitekturnya bagus-bagus dengan biaya yang sangat efisien.
Tapi membangun pelabuhan atau
airport saja tanpa regular flight dan regular shipping tidak ada artinya.
Karena itu kita membuat jalur poros maritim. Ini artinya ada regular shipping,
berupa 5-6 jalur ke Indonesia Timur.
Ada satu jalur dari Surabaya lewat Utara
yang datang secara teratur dan terjadual. Kemudian ada jalur tengah, paling
bawah lewat MPT masuk ke pelabuhan selatan. Ada 5 jalur dan 1 lagi ke Natuna
kita subsidi. Dengan Poros Maritim ini, dampaknya akan sangat positif.
Memang, masih ada yang belum
percaya. Masih ada yang bilang Jokowi hanya mimpi dengan Poros Maritimnya.
Mohon maaf bapak/ibu, saat ini sudah ada jalur kapal regular shipping enam rute
yang sebetulnya bagian dari Poros Maritim. Dampaknya juga sudah terasa positif.
Dulu disparitas harga kebutuhan pokok antara Jawa dan Indonesia Timur sangat
tinggi. Ini ironis. Penduduk Indonesia Timur lebih miskin harus membeli
kebutuhan pokok lebih mahal. Dengan adanya Poros Maritim, disparitas harga itu
sudah semakin mengecil. Berdasarkan data statistik yang bisa dilihat di website
kami, disparitasnya sudah turun lumayan besar, sekitar 30%-40%.
Dalam jangka jangka menengah dan
panjang, dengan adanya jalur regular dan terjadual, pedagang dan petani kecil
akan semakin mudah membawa barangnya keluar daerah. Ini akan menurunan cost
travel-nya. Harga semen yang di Indonesia Timur, khususnya di Papua, mencapai
Rp1 juta/zak, bisa turun secara signifikan. Kalau pun ada selisih harga, paling
hanya Rp50.000-Rp100.00 saja.
Tahun depan kami akan lengkapi
dengan jalur logistik udara agar disparitas harga dengan di pegunungan Papua
bisa ditekan. Ini akan melengkapi konsep Poros Maritim. Dengan angkutan udara,
harga berbagai barang kebutuhan pokok di pegunungan terpencil bisa lebih murah.
Yang terakhir, terkait dengan
pendidikan di bidang maritim, kita harus kembangkan vocational training.
Sekolah pelaut kita sudah lumayan bagus. Pelaut kita disukai di dalam maupun
luar negeri, baik kapal kargo maupun penumpang. Pelaut Indonesia juga dikenal
tidak membuat masalah. Mereka tidak banyak yang mabuk atau berkelahi. Pelaut
kita dikenal cinta damai.
Bapak/ibu, saya mohon maaf karena
sambutan saya panjang sekali. Tapi saya ingin mengucapkan selamat dan salut apa
yang telah KKP dan kawan-kawan Angkatan Laut capai dalam hal "perang" melawan
illegal fishing. Juga diplomasi internasional kita makin bagus. Dunia
internasional semakin menyadari, bahwa perang melawan illegal fishing ini perlu.
Bahkan Indonesia sekarang termasuk paling depan dalam memerangi.
Kami ucapkan terima kasih untuk
kekompakan Tim Satgas illegal fishing. Biasanya jarang kita bisa kompak. Ego
sektoralnya tinggi sekali. Tapi dalam kasus Satgas ini, kekompakan luar biasa.
Prestasinya juga luar biasa. Selamat.
------
Jakarta, 30 Juni 2016.
DR. Rizal Ramli,
Menteri Koordinator Maritim dan Sumber Daya RI