DUHAI... istriku yang kucintai, Gamar Alhasni,
aku memang telah mengusirmu, tetapi bukan berarti
sebagai istri engkau benar-benar harus pergi. Aku mengusirmu, sebab engkau yang
sering murka kepada anak-anak ketika keluar rumah tanpa izin, tetapi malah itu
terjadi padamu.
Yaa... di petang itu,
engkau pergi (keluar) rumah hingga usai Magrib
tanpa sepengetahuanku, padahal dirimu tahu aku suamimu belum tidur juga belum
makan, karena sedang bekerja dari gelap hingga gelap berikutnya di dalam rumah
kita.
Bahkan di saat kalian tertidur dan ngorok
bergelimang mimpi, mungkin juga dengan liur, aku malah harus memeras mata,
otak, dan keringatku untuk menyusun huruf demi huruf sebagai penulis pejuang, semua itu bukan hanya untuk kita, tetapi untuk
kebaikan bangsa ini jua.
Dan meski mata ini makin sipit, juga tubuh ini kian
kurus serta menipis, namun aku tak meminta apa-apa darimu wahai istriku
tersayang. Aku hanya ingin kita berbagi tugas dan kewajiban, seperti aku yang
tak pernah lalai memenuhi nafkah lahir dan bathin buatmu, juga anak-anak.
Lalu nikmat Tuhan yang manakah kamu dustakan?
Namun... di petang itu (Jumat, 18/3/2016)
engkau tahu anak-anak kita sangat butuh sentuhan
dan belaian darimu sebagai ibu, namun engkau lagi-lagi malah menghardik si
Bungsu ketika sulit disuruh mandi, hingga engkau membiarkannya menangis tersedu-sedu.
Juga... di petang itu,
engkau tahu si Sulung sedang demam tinggi, namun
ketika kuperintahkan untuk memberinya obat, engkau malah asyik mengobrol dengan
tetangga hingga usai magrib tanpa sepengetahuanku.
Sehingga.. di sore itupun,
aku yang sedang berpacu dengan waktu agar bisa
menyelesaikan pekerjaanku, malah jadi molor dan kerap harus tertunda karena lagi-lagi
harus memandikan si Bungsu dan memberikan obat buat si Sulung, lalu menyiram kopi sendiri.
Dengan situasi yang berulang-ulang seperti itu,
haruskah aku diam???
Wahai... istriku yang amat kucintai, Gamar Alhasni,
aku bukan tipe suami yang gemar membisu dan hanya
bungkam ketika tahu engkau sebagai istri yang aku sayangi melakukan kesalahan, sampai
itu aku jadi penulis yang sangat kritis demi memperbaiki setiap kesalahan di negeri ini.
Tetapi, aku yang begitu tegas dan kritis bukan
berarti tidak doyan humor.
Sayangku.. engkau sangat tahu, bahwa sepanjang hari
tak mengenal siang-malam ulahku kerap kusengaja menyerupai orang super tolol hanya
demi membuatmu tertawa, dan memang perutmu tak pernah bisa menahan tawa.
Lalu nikmat Tuhan yang manakah kamu dustakan?
Duhai.. Gamar Alhasni istriku terkasih, dengarlah,
sungguh aku ingin membuatmu terhormat di mata orang
banyak, dan bahkan menjadi istri mulia di hadapan Tuhan. Sampai itu aku tak ingin diam ketika engkau melakukan kesalahan-kesalahan,
sebab engkau adalah istriku sekaligus tanggungjawabku di akhirat nanti.
Dan sayangku, engkau pun sangat tahu itu, bahwa setiap
engkau berbuat kesalahan, pasti aku bertindak, mulai secara lembut, tegas hingga keras meninggi
(menggertak), semuanya adalah demi kebaikanmu, terutama kebaikan rumah tangga
kita.
Sayangnya.., dan betapa ku sangat bersedih, sebab meski
dirimu di Jumat petang itu sadar lagi-lagi melakukan kesalahan, namun sedikitpun engkau tak memohon maaf saat
kulontarkan nasehat-nasehat ketegasan, malah engkau meladeniku seolah-olah tak
melakukan kesalahan.
Sayangku... ketahuilah, karena di Jumat malam itu dirimu tetap tak tergerak untuk meminta
maaf, maka terpaksa akupun meninggikan ketegasanku, mengusirmu!
Dan jujur aku memang mengusirmu, namun di saat
bersamaan aku sebetulnya menunggu agar engkau segera cepat-cepat memohon maaf kepadaku. Tetapi itu sama sekali tidak engkau
lakukan. Malah benar-benar berkemas lalu pergi.
Dan yang membuatku bertambah sedih, adalah ketika
engkau sampaikan kepada orang-orang, bahwa akulah yang mengantar tas kopermu hingga
ke atas bentor, engkau juga membeberkan bahwa aku telah melontarkan kata cerai.
Bahkan engkau katakan bahwa ini karena aku ingin kawin lagi.
Sayangku.., betapa teganya dirimu memfitnah diriku seperti itu.
Gamar Alhasni cintaku..., dengan fitnah seperti
yang engkau beberkan itu, betapa buruknya kini diriku di matamu dan di hadapan
orang lain, tapi pasti tidak di mata Tuhan.
Tas koper itu memang aku yang angkat,
namun hanya sampai tepat di pagar rumah bagian
dalam, sebab di titik itu aku masih menunggu kata maaf darimu. Namun ternyata,
engkau baru bisa berkata maaf ketika pamitan, dan minta mencium tanganku, yakni
di saat koper telah diangkat oleh pengemudi bentor.
Sayangku Gamar Alhasni yang amat kucintai,
sungguh keliru dan betapa tega dirimu mengambil
cara dan timing untuk memohon maaf dan mencium tanganku di saat seperti itu. Dan
karena fitnah yang kau munculkan itu, membuat diriku tak mendapatkan pembelaan
dari pihakmu.
Dan mengenai ingin kawin lagi,
bukankah engkau sendiri yang menawarkan kepadaku
tentang hal itu?
Juga apakah diriku telah banyak berada di luar
rumah dan meninggalkan kesibukanku untuk ketemu dengan wanita-wanita lain?
Sungguh.. dan betapa dirimu telah sangat berlebihan
menyudutkan.
Duhai istriku sayang..., sadarkah bahwa apa yang
engkau lakukan saat ini telah mendzolimi diriku? Bahkan juga telah menyakiti
kembali ibumu?
Ayo sayangku..., jelaskan mengapa engkau begitu
tega dan ngotot ingin menghabisi nyawa cinta kita?
Beginikah bentuk kepatuhanmu kepada diriku sebagai
suami yang menikahimu atas nama Allah?
Sebesar gunung manakah kesalahan dan dosaku
kepadamu?
tunjukkanlah, pasti gunung itu akan aku daki, asalkan
engkau jangan pergi dan menghilang dari sisiku!
Seluas lautan manakah keburukan dan kekuranganku
hingga begitu tega meninggalkanku?
Tunjukkanlah, pasti lautan itu akan kuseberangi, asalkan
kumohon jangan membunuh cintaku kepadamu hanya dengan alasan karena telah
mengusirmu.
Sayangku Gamar Alhasni yang sangat aku cintai,
sungguh dikau benar-benar hanya menelan
mentah-mentah istilah “mengusir”.
Cobalah tunjukkan kepadaku, kerugian besar seperti
apakah yang engkau dapatkan dan dilaknati Allah bila tetap bertahan ketika
diriku (suamimu) mengusirmu?
Dan tolong tunjukkan kepadaku, keuntungan sebesar seperti
apa yang diridhoi Allah yang bisa engkau dapatkan apabila pergi meninggalkanku ketika
aku usir?
Wahai istriku Gamar Alhasni yang sangat-sangat
kusayangi,
Andai mungkin aku adalah suami yang gemar
mabuk-mabukan, narkoba, dan juga berjudi, yang keluyuran tiap malam dan pulang
pagi kehabisan duit lalu memaksamu untuk mencuri, dan ketika tak bisa engkau penuhi
kehendakku itu kemudian aku mengusirmu, maka silakan pergi... pergi.. dan
pergilah sejauh mungkin tinggalkan diriku!!!
Gamar Alhasni istriku tercinta...,
Meski engkau telah memfitnahku, dan
memperlakukanku seolah-olah sebagai suami yang gemar mabuk-mabukan, pemakai
narkoba, dan tukang judi seperti di atas, hingga engkau tega meninggalkanku, toh
aku tetap sangat mencintaimu, juga menyayangimu seumur hidupku.
Sayangku..., meski kini dirimu entah berada di
mana, namun engkau masih sah milikku dan hingga seterusnya satu-satunya istriku
yang kucintai.
Dan camkanlah, aku tak mungkin menceraikanmu hanya
karena persoalan sepele seperti ini. Sebab, aku bukan suami bodoh atau idiot yang tidak paham
tentang sebuah lika-liku dan tanggungjawab sebagai suami.
Olehnya itu duhai istriku dan belahan jiwaku, Gamar
Alhasni,
mohon pulanglah dan kembalilah kepadaku, sebab sudah
9 hari atau 12.960 menit engkau tak bersamaku. Dan kalau cuma keegoisan yang
membuat sampai harus seperti ini, maka biarkan aku yang mengalah, jika perlu
aku sebagai suami yang akan bersujud di hadapanmu asalkan jangan cabut nyawa
cinta kita.
Dan yang paling penting,mohon jangan biarkan angka menit
itu bertambah terus menjadi timbangan keburukan kita di akhirat.
I Love Igo
istriku sayang, papa menunggumu, pulanglah! Maafkan papa, karena masa depan
cerah ini tak lengkap tanpa kehadiranmu di sisiku.