SAH-SAH saja, dan siapa pun bisa untuk menjadi presiden maupun wakil presiden, silakan! Dan saya bersama teman-teman seperjuangan adalah termasuk pihak yang akan mendukung lahir-bathin apabila yang bersangkutan benar-benar serius mengabdikan dirinya sebagai pemimpin bangsa untuk kemajuan negeri ini, bukan untuk menyedot dan melahap dengan leluasa anggaran serta kekayaan di negara ini bersama kelompok (politik dan bisnisnya, juga dengan asing) secara serakah.
---------------------
MESKI Jusuf Kalla (JK) sudah dilantik sebagai Wakil Presiden (Wapres) mendampingi Presiden Jokowi, namun jujur, hingga detik ini saya masih tak habis pikir dengan sosok pengusaha yang satu ini. Bahwa setelah gagal mewujudkan mimpinya menjadi presiden 2009, JK malah tiba-tiba kembali tampil bersaing sebagai Cawapres pada Pilpres 2014 kemarin. Padahal hampir semua kalangan tahu, JK sesungguhnya bukanlah satu-satunya pilihan tepat untuk dijadikan pendamping Jokowi. Bahkan boleh jadi, JK justru akan menjadi masalah besar buat Jokowi.
Muncul pertanyaan, apa sesungguhnya yang mendorong seorang seperti JK bisa begitu sangat tertarik, dan bahkan amat “bernafsu” untuk kembali menduduki jabatan yang sudah pernah ia duduki selama 5 tahun itu?
Semakin saya mencari tahu dan menggalinya secara logis dengan bertanya kepada hati dan pikiran, juga dengan berdiskusi secara nalar di banyak kalangan lapisan menengah dan bawah, maka semakin pula memunculkan pandangan dan persepsi bahwa: sepertinya JK sangat lebih pantas disebut “Kalla the King of Neoliberals (KKN)”.
Mengapa? Tahan dulu, untuk mencoba menggambarkan pandangan tersebut, kita coba menguntainya di paragraf lainnya. Jika perlu, akan kita bahas secara pelan-pelan dan mendalam pada artikel-artikel selanjutnya. Bukan bertujuan untuk menjatuhkan JK, tetapi adalah untuk memaksa kaum neoliberalis dan para budak asing agar segera kembali ke jalan yang benar, yakni membangun serta mengabdikan diri kepada bangsa dan negara tanpa didorong nafsu untuk mendapat keuntungan dan memperkaya kelompok dan diri sendiri.
JK Membenci Loyalis Gus Dur?
Sebelum terjun secara serius di dunia politik, JK sebenarnya adalah sosok pengusaha yang terbilang masih cukup “bersih” dalam menjalankan usahanya. Namun begitu ia bergumul di kancah politik, JK pun boleh dikata sudah mulai doyan main “kotor-kotor”.
Tak pelak, ia pernah dipecat oleh Presiden Gus Dur secara tidak hormat dari Menteri Perindustrian dan Perdagangan. Ketika itu, kata sumber, JK banyak memasukkan adik dan keluarganya ke Bulog. Selain itu, ia diduga telah melakukan intervensi dengan memenangkan tender PLTN untuk adiknya. Juga JK diduga telah melakukan monopoli usaha di Bekasi, dan di sejumlah daerah lainnya.
Dugaan kelakuan buruk (KKN) JK tersebut terungkap dalam Rapat Konsultasi Tertutup antara Pemerintah dan DPR di Gedung DPR, Jakarta (27 April 2000). Presiden Gus Dur mengungkapkan, bahwa JK sebagai Menteri Perdagangan harus dipecat karena terlibat dalam sejumlah kasus Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN). Informasi mengenai hal tersebut saat itu kemudian dibenarkan Ketua Fraksi Partai Golkar, Eki Syachrudin, kepada Pers usai rapat konsultasi di hari itu.
Sayangnya, Gus Dur mengungkapkan kasus KKN yang dilakukan JK tersebut hanya disampaikan di hadapan sekitar 40 pimpinan dan sejumlah anggota Dewan yang mengikuti Rapat Konsultasi tertutup tersebut. Karena sudah dinilai cukup bukti, Gus Dur sebagai presiden ketika itu pun merasa cukup mengambil tindakan tegas dengan langsung memecat JK tanpa harus mengajukan masalahnya ke proses hukum yang justru akan lebihbertele-tele dan hanya menghabiskan waktu serta materi yang tidak sedikit.
Nampaknya pemecatan tersebut merupakan tamparan keras dan hantaman yang amat memalukan dalam hidup JK. Sehingga sepertinya JK menaruh dendam terhadap Gus Dur dan para loyalisnya.
Dari pasca pemecatan tersebut, ada intuisi kemudian yang mengganggu di pikiran saya: “Jangan-jangan lengsernya Gus Dur dari kursi presiden boleh jadi ada campur-tangan JK? Apa iya?? Entahlah?! Yang jelas, begitu Megawati Soekarnoputri naik mengganti kedudukan Gus Dur sebagai presiden, nama JK malah kembali nongol di jajaran kabinet Gotong Royong, dan tak tanggung-tanggung posisi JK malah di atas lebih tinggi dari sebelumnya, yakni sebagai Menko Kesra. Sementara, para loyalis Gus Dur tak satupun yang diberi kedudukan di sana, seperti Rizal Ramli dan Mahfud MD.
Bahkan ketika berhasil menjadi wakil presiden mendampingi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), JK melalui “tangan” Menteri BUMN, Sofyan Djalil (loyalis JK) memberhentikan secara semena-mena Rizal Ramli sebagai Komisaris Utama PT. Semen Gresik, Juni 2008.
Disebut semena-mena karena pemberhentian itu bertolak belakang dari sisi profesionalisme dan kinerja tinggi yang dipersembahkan Rizal Ramli sebagai Komisaris Utama di BUMN tersebut. Artinya, di saat Rizal Ramli mampu memajukan PT. Semen Gresik dalam bentuk prestasi dan kinerja yang sangat bagus, pemerintah malah mencopotnya. Di belakangan, publik baru bisa menilai bahwa pencopotan tersebut sarat dengan muatan politik karena sebelum pencopotan, Rizal Ramli bersama rakyat berunjukrasa menentang kebijakan kenaikan harga BBM oleh pemerintah SBY-JK.
Tetapi apapun alasannya, boleh jadi di mata JK, loyalis Gus Dur memang harus disingkirkan. Apalagi Rizal Ramli memang dikenal sangat loyal kepada Gus Dur, sekaligus sebagai sosok ekonom senior penegak ekonomi kerakyatan yang sangat anti-neoliberalisme.
JK Neoliberalis?
Tak ada pihak yang melarang seorang pengusaha untuk menjadi kepala daerah maupun kepala negara. Namun jika sang pengusaha itu sudah menjadi penguasa hanya lebih menekan campur-tangan pemerintah dan konsentrasi kekuasaan swasta terhadap perekonomian dengan mengutamakan kepentingan kapitalis, lalu meninggalkan prinsip ekonomi kerakyatan, --maka tentu itu wajib dilakukan larangan, dan bahkan patut untuk segera dilawan! Sebab, neoliberalisme adalah merupakan bentuk penjajahan baru terhadap ekonomi kerakyatan.
Khusus mengenai JK selaku pengusaha yang berhasil menjadi penguasa sejauh ini sangatlah cenderung dinilai sosok yang identik dengan seorang neoliberalis yang penuh dengan “nafsu” untuk lebih membesarkan perusahaan-perusahaannya yang memang sudah “meraksasa” itu bersama dengan para kapitalis dalam lingkarannya.
Dari berbagai informasi yang tersiar menyebutkan, betapa JK ketika berada dalam pemerintahan dengan leluasanya melakukan menguasaan terhadap banyak proyek-proyek yang dibiayai oleh negara, di mana tentunya JK mengharap agar bisa mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya bagi kelompok, keluarga, dan koleganya secara bisnis. Berikut sejumlah daftarnya:
1. Dilansir rmol.co. Grup Bosowa, milik Aksa Mahmud adik ipar JK, pada tahun 1997/1998 adalah termasuk 20 debitur terbesar Bank Mandiri yang macet. JK yang menjabat sebagai komisaris utama PT Semen Bosowa dan Aksa Mahmud sebagai direktur utama waktu itu dianggap harus bertanggungjawab terhadap kredit macet perusahaan tersebut di Bank Mandiri sebesar Rp1,4 triliun.
Tiba-tiba di belakangan ketika JK berhasil menjadi pejabat negara, berdasarkan laporan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Bank Mandiri pernah menghapusbukukan sebagian utang milik perusahaan milik Kalla tersebut.
2. Kalla Grup, Bukaka Grup dan Bosowa Grup, Intim Grup yang semuanya merupakan bisnis keluarga JK, mendapatkan banyak sekali proyek besar pada waktu JK menjabat sebagai Wapres 2004-2009. Antara lain, pembangunan PLTA di Sulawesi Selatan, Bukaka mendapat order pembangunan PLTA di Ussu di Kabupaten Luwu Timur berkapasitas 620 MW, PLTA senilai Rp 1,44 triliun di Pinrang. Bukaka juga membangun PLTA dengan tiga turbin di Sungai Poso, Sulawesi Tengah, berkapasitas total 780 MW.
3. Selain ditengarai memainkan pengaruh kekuasaan untuk mendapatkan bisnis ini, pelaksanaannya kerap melanggar aturan. PLTA Poso, misalnya, mulai dibangun sebelum ada AMDAL yang memenuhi syarat. Jaringan SUTET-nya ke Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara dibangun tanpa AMDAL. Di Sumatera Utara, kelompok yang dipimpin Achmad Kalla, adik kandung JK mendapat order pembangunan PLTA di Pintu Pohan, atau PLTA Asahan III berkapasitas 200 MW .
4. Bukaka juga terlibat dalam pembangunan pipa gas alam oleh PT Bukaka Barelang Energy senilai 750 juta dolar AS atau setara dengan Rp 7,5 triliun yang akan terentang dari Pagar Dea, Sumatera Selatan ke Batam; pembangunan pembangkit listrik tenaga gas (PLTG) senilai 92 juta dolar AS atau Rp 920 miliar di Pulau Sembilang dekat Batam; pembangunan pembangkit listrik tenaga gas di Sarulla, Tarutung, Sumatera Utara yang akan menghasilkan 300 MW. Ada juga rencana pembangunan 19 PLTA berkekuatan 10.000 MW. Dan ini dinilai berbahaya secara ekonomi karena JK mendorong BPD-BPD se-Indonesia yang membiayainya dengan mengandalkan dana murah di bank-bank milik pemda tersebut.
Titik soalnya, dana murah itu adalah dana jangka pendek, sedangkan pembangunan PLTA adalah proyek berjangka waktu panjang. Rata-rata duit yang masuk setelah 7 tahun berjalan. Jika terjadi sedikit saja goncangan, BPD-BPD itu bakal semaput karena dana jangka pendek mereka dipakai untuk membiayai proyek jangka panjang. Ngototnya JK bisa dimaklumi karena kelompok bisnisnya, Bukaka, Bosowa , dan Intim (Halim Kalla) termasuk paket kontraktor pembangunan 19 PLTU itu.
5. Kelompok Bosowa mendapat order pembangunan PLTU Jeneponto di Sulsel tanpa tender (Rakyat Merdeka, 7 Juni 2006). Sedangkan kelompok Intim milik Halim Kalla yang juga salah seorang Komisaris Lion Air akan membangun PLTU berkapasitas 3x300 MW di Cilacap, Jateng, dengan bahan baku batubara yang dipasok dari konsesi pertambangan batubara seluas 5 ribu hektar milik kelompok Intim di Kaltim (laporan GlobeAsia, September 2008).
6. Sebagai Ketua Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi, JK memerintahkan pembelian 12 helikopter bekas dari Jerman. Tujuannya melancarkan penanganan pascabencana tsunami di Aceh dan Nias. Helikopter jenis BO 105 itu dibeli lewat PT Air Transport Services (ATS), yakni perusahaan yang terafiliasi ke Bukaka, grup usaha milik JK.
Pada November 2006, 12 helikopter itu tiba di Indonesia, tapi tak bisa langsung dioperasikan. Bea Cukai menyegelnya karena PT ATS belum membayar pajak impor Rp 2,1 miliar. Pada 7 Desember 2006, SBY menulis memo buat Menteri Keuangan dan Menteri Perhubungan untuk mencabut segel helikopter tersebut. Memo ini dibuat atas permintaan lisan Kalla. JK menganggap pembelian itu tidak bermasalah. “Tidak ada uang negara yang keluar untuk pembelian heli itu,” kata dia.
7. Pembangkit listrik tenaga batu bara berkapasitas total 10.000 megawatt yang akan digerakkan oleh Konsorsium Bangun Listrik Nasional yang terdiri atas PT Bukaka Teknik Utama, PT Bakrie & Brothers, PT Medco Energi, PT Inti Karya Persada Teknik milik Bob Hasan, dan PT Tripatra milik Iman Taufik (pemilik tak langsung PT Bumi Resources).
Pembiayaannya akan dikucurkan pemerintah lewat penerbitan surat utang US$ 2,5 miliar per tahun selama tiga tahun. Menurut JK, untuk mempercepat proyek, tender perlu diubah menjadi lebih sederhana: hanya melihat performa perusahaan. “Tendernya pun harus crashprogram. Kalau tidak begini, potensi kerugian per hari mencapai lebih dari Rp 100 miliar,” ujar Kalla. Sri Mulyani tak setuju pendanaan proyek ini karena dibiayai dana asing. JK punya komentar sendiri, “Presiden dan wakil presidenlah yang akan menanggung risiko, bukan menteri.”
8. Tahun 2006 JK mengusulkan ide tentang konversi minyak tanah ke gas LPG. Proyek tersebut kini dinilai berhasil karena rakyat saat ini pula sudah sangat bergantung kepada LPG. Namun di balik itu, Bukaka Group dan Kalla Group sebagai perusahaan yang memproduksi gas-gas tersebut ikut menikmati keuntungan besar dari proyek ini. Dan hal tersebut membuat proyek ini rawan akan tindak korupsi karena JK sangat berperan dalam pengambilan keputusan siapa yang akan memproduksi gas LPG tersebut. Sungguh cerdik bukan?
9. Bursa Efek Indonesia pada 7 Oktober 2008 menyetop perdagangan enam emiten dari Grup Bakrie, yakni PT Bumi Resources Tbk, PT Bakrie Sumatera Plantation Tbk, PT Bakrieland Development Tbk, PT Bakrie & Brothers Tbk, PT Energi Mega Persada Tbk, dan PT Bakrie Telecom Tbk. Sebelum disuspen, harga saham perusahaan tersebut sedang menukik.
Sepuluh hari kemudian BEI mencabut suspensi untuk Bakrie Sumatera, Bakrieland, dan Bakrie Telecom. Pada awal November, bursa juga mencabut suspensi Bumi Resources. Akibatnya, harga saham perseroan kian melorot. JK berang dengan pencabutan suspensi itu. Menurut dia pemerintah perlu memperpanjang suspensi saham PT Bumi Resources dengan dalih melindungi pengusaha nasional. “Masak, Bakrie hanya sedikit dibantu satu-dua hari tidak boleh?”
10. JK juga dikenal sebagai orang yang sangat ngotot menjadikan bencana lumpur Lapindo jadi bencana nasional dan ditanggung APBN hingga 7 triliun.
Catatan dan kiprah JK tersebut di atas belum termasuk proyek-proyek yang diberikan (atas rekomendasi) JK kepada para koleganya yang lain sebagai bentuk terimakasih karena turut membantu dan berpartisipasi dalam menyukseskan kampanye Pilpres. Diduga kuat seperti perusahaan milik Sofyan Wanandi ( Liem Bian Koen ) dan Jusuf Wanandi (Liem Bian Kie ) yang dinilai bertindak sebagai cukong dan komando tim sukses pemenangan JK.
Tak bisa dipungkiri, kekuasaan memang selalu lekat dan dekat dengan pebisnis. Sosok capres-cawapres yang berhasil mereka perjuangkan hingga bisa terpilih dan berkuasa dalam pemerintahan tentu saja memunculkan harapan bisnis mereka bisa lebih cepat melaju.
Ini pula yang menjadi harapan pengusaha yang selama ini dikenal mendukung pencalonan Jokowi-JK. Sofjan Wanandi misalnya. Dikenal dekat dengan JK, pemilik Gemala Group tersebut bahkan sudah berancang-ancang untuk masuk dalam bisnis yang menjadi prioritas pemerintah. “Antara lain, sektor pertanian, energi, industri jasa, dan pasar keuangan,” kata Sofjan, seperti dikutip Kontan, Senin (20/10/2014).
Ia juga tak menampik bahwa bisnisnya akan ikut “mencicipi” berkah dari sektor-sektor tersebut. Begitu juga dengan pengusaha-pengusaha lain yang selama ini juga menjadi penyokong Jokowi-JK. Agar fair, dalam bisnis tersebut, tentu saja para pebisnis harus ‘bermain’ di bidang usaha mereka. “Kami siap dengan rencana dan proyek bisnis kami,” ujar Sofjan tak merinci proyek dan pembagiannya.
Kini, nampaknya JK kembali bisa leluasa melakukan semua itu untuk lima tahun ke depan, dan rasa-rasanya tak ada pihak yang bisa menghalang-halanginya. Sebab, dalam Kabinet Kerja, semua loyalis JK sudah diposisikan di tempat strategis.
Misalnya, seorang pengamat LSP Gede Sandra menyebutkan, bahwa dengan ditunjuknya Sofyan Djalil sebagai Menko Perekonomian patut dicurigai sebagai strategi untuk menguasai perekonomian Indonesia. Kecurigaan ini bukan tanpa dasar, mengingat berbagai portofolio JK sewaktu menjadi wapres SBY periode 2004-2009 yang berhasil mendapatkan proyek-proyek besar di tanah air. Hal ini, menurut Gede, tentu tidak akan sulit berulang kembali karena Sofyan Djalil sangat mudah diatur oleh JK. Yang bersangkutan juga sangat dekat dan loyal terhadap JK.
Selain Sofyan Djalil, juga ada Rini Soemarno yang kini diposisikan sebagai Menteri BUMN. Rini adalah saudara adik kandung Ari Soemarno. Ketika JK menjadi Wapres di era SBY, Ari Soemarno menjadi Direktur Utama Pertamina. Jadilah kolusi program Elpiji 3 kg Pertamina dan JK. Dengan bantuan Ari Soemarno, perusahaan-perusahaan JK bisa memegang produksi tabung gas elpiji 3 kg.
Mengetahui “kiprah” JK yang begitu telah dan akan kembali sangat leluasa menguasai dan mengendalikan supermega-proyek untuk dikerjakan serta dikantongi oleh grup-grup perusahaan dan bisnis milik keluarga JK dan para koleganya, membuat iklim ekonomi kerakyatan untuk lima tahun ke depan benar-benar kembali akan menjadi suram. Dan Jokowi sebagai presiden bisa apa ketika hampir dipastikan bahwa semua kebijakan ekonomi nantinya akan lebih dominan dikuasai oleh JK?
Sungguh, saya sangat bisa membayangkan, bahwa betapa bersih dan hebatnya Jokowi “tanpa” JK. Artinya, begitu bersih dan hebatnya Jokowi apabila mampu menghilangkan “kebiasaan dan ulah” JK yang cenderung memanfaatkan kekuasaannya untuk membesarkan bisnis dan perusahaan keluarga dan kelompoknya itu.
Uraian saya tentang “kiprah” sosok JK di atas, seluruhnya bukan untuk menjatuhkan JK ataupun pihak-pihak yang terkait di dalamnya. Sebab, Pilpres 2014 sudah lewat, Jokowi-JK sudah berhasil menjadi Presiden dan Wakil Presiden, sehingga keliru jika ini dinilai sebagai upaya untuk melakukan sebuah black-campaign Pemilu terhadap pasangan Jokowi-JK. Justru sebaliknya, saya bersama teman-teman seperjuangan mengharapkan pasangan Jokowi-JK jangan sampai mengulang kebiasaan-kebiasaan buruk dari pemerintahan sebelumnya. Apalagi JK adalah bagian dari pemerintahan yang sebelumnya tersebut.