(AMS, opini)
TAHUN 2013 lalu, tidak pernah terlintas sedikit pun di pikiran saya untuk menjadi seorang Golput (Golongan Putih). Yakni golongan yang tak ingin menggunakan hak pilihnya dalam Pemilu Presiden.
Namun sejak medio Mei 2014, minat saya untuk Golput tiba-tiba meninggi. Dan hal ini berlangsung hingga pagi ini, 9 Juli 2014 (beberapa jam sebelum pencobloson).
Ada beberapa alasan yang membuat saya cenderung Golput. Di antaranya adalah selain kecewa dengan perilaku busuk dari para elit parpol, juga adalah karena sistem politik (demokrasi) di negara kita masih sangat-sangat buruk, –yakni salah satunya bisa mematahkan hak warga negara (putra-putra terbaik bangsa) untuk tidak maju menjadi pemimpin dalam ajang pemilihan presiden/wakilpresiden karena tidak diusung oleh parpol. Ini alasan umum saya.
Sedangkan alasan khususnya adalah saya tidak menemui jawaban logis dan sehat tentang mengapa parpol hanya berhasil mengajukan dua pasang Capres di saat rakyat sesungguhnya sangat mengharapkan adanya calon alternatif (bukan kader parpol) namun diusung oleh parpol?
Saya sudah browsing ke berbagai penjuru dunia maya, namun tidak satu pun penjelasan yang bisa saya terima untuk menjatuhkan pilihan saya kepada salah satu pasangan capres yang ada saat ini.
Parahnya, saya malah mendapat banyak suguhan (info) kejelekan dan kebusukan yang dimiliki oleh kedua pasang capres dari berbagai sumber berita (media).
Dan yang lebih parah lagi adalah saya tak jarang mendapat “serangan balik’ dari para pendukung capres secara ekstrem berupa komentar yang menyudutkan. Padahal saya mengharapkan adanya klarifikasi ketika saya dianggap keliru menilai capres dalam sebuah artikel atau status yang saya tulis di media sosial.
Dengan berbagai alasan ditambah kondisi seperti itu, membuat “grafik” keinginan saya untuk Golput malah cenderung terus naik.
Memang saya tak bisa pungkiri, bahwa masih ada keinginan yang terselip di pikiran untuk juga dapat ikut memberi suara pada Pilpres 9 Juli 2014 ini, meski itu kecil.
Terus terang, dua bulan terakhir ini hampir tiada waktu yang terlewati hanya untuk mencari jawaban agar hati bisa teguh memilih salah satu capres. Di saat saya sedang mencari nafkah, mengurus anak-anak, memasak, dsb (maklum single-parent) pikiran saya senantiasa bertanya-tanya capres mana yang lebih pantas memimpin negeri ini untuk saya pilih? Namun, sekali lagi tak satu pun petunjuk yang bisa saya temui.
Tetapi tiba-tiba warga dunia dikejutkan dengan hasil pertandingan sepakbola piala dunia 2014. Jerman berhasil “membantai” Brazil dengan skor 7:1.
Sungguh, tak seorang pun yang menyangka jika Brazil sebagai negara yang selama ini “mendewakan” permainan sepakbola itu harus benar-benar takluk dan terkapar di hadapan publiknya sendiri. Dan warga dunia yang sempat menyaksikan laga tersebut tentu sepakat dan serentak berkata: “it’s impossible”.
Namun di saat penduduk dunia sibuk tercengang dengan kemustahilan memandang hasil pertandingan tersebut, saya malah merenung dan bertanya-tanya dalam hati: “apakah ini sebuah petunjuk alam buat rakyat Indonesia yang pada hari ini juga akan memilih presidennya yang baru dalam sebuah pemilihan…??? (Silakan disimak sendiri gambar di atas)
Sebab memang jika mau dipikir, adalah sungguh sebuah hal yang sangat mustahil Brazil sebagai negara yang telah menjadikan sepakbola sebagai “agama”, pernah menjadi juara dunia, dan kini sebagai tuan rumah piala dunia 2014 itu harus dipaksa menelan pil pahit oleh Jerman dalam skor akhir pertandingan 7:1.
Namun terlepas dari semua itu, saya tentu tak ingin gegabah untuk menjatuhkan pilihan kepada salah satu pasangan capres pada hari ini. Sebab saya tak ingin mencoblos capres yang hari ini saya anggap baik, tetapi ketika dirinya terpilih malah saya ikut mencaci dan memaki dirinya karena hanya sebuah kekecewaan yang saya rasakan akibat perbuatannya.
Selamat mencoblos, mau pilih nomor 1 dan 2 itu terserah Anda. Yang penting jangan karena dipaksa dan terpaksa….!!!
Merdeka dan Jayalah Indonesiaku…!!!