Wednesday, 7 May 2014

Doa Orang Fakir Ini Berharap Rizal Ramli Terpilih Jadi Pemimpin Tahun Ini

(AMS, reportase)
SUDAH sekitar tiga bulan lalu saya diberi kabar dari seorang mantan wartawan saya. Begini katanya, “Ada seorang kakek, namanya Opa Sunu Lama, sudah 77 tahun usianya.  Tahun lalu majalahnya kita yang edisi penghabisan itu saya berikan kepada beliau. Rumahnya agak terpencil kira-kira satu kilometer dari rumah saya, ingin ngobrol dengan Bapak.”


Namun, keinginan itu baru bisa saya kondisikan pada Minggu (4 Mei 2014) bersama mantan wartawan yang pernah saya tugaskan di wilayah Kabupaten Gorontalo tersebut.

Tidak gampang menuju rumah Opa Sunu di Dusun Upomela, Desa Upomela, Kecamatan Bongomeme-Kabupaten Gorontalo. Sebab kendaraan (mobil maupun motor) hanya bisa diparkir di ruas jalan desa, lalu berjalan sekitar 200 meter ke dalam menelusuri jalan setapak (jalan kecil yang di kiri kanan ditumbuhi rerumputan dan terbentuk karena sering dilalui orang).

Namun tidak ada perasaan lelah ketika kami tiba sekitar pukul 16.30 Wita di rumah kakek tersebut, sebab suasana alam dengan udaranya yang segar di sekitarnya itu membuat hati dan pikiran justru merasa sejuk. Apalagi tak jauh dari situ terdapat sebuah sungai, warga di sana menyebutnya Sungai Tohupo.

Setelah memberi salam, Opa Sunu yang memang kebetulan sedang duduk di sebuah bangku di depan gubuknya itu langsung menyambut hangat kedatangan kami dengan senyum bersama istrinya, Hawa Yunus (70).

“Apakah seperti ini pula bentuk blusukan yang dilakukan oleh Jokowi?” bisikku dalam hati sembari mengamat-amati gubuk sang kakek yang kondisinya cukup memprihatinkan itu. Ukurannya cuma sekitar 3×4 meter, terbuat dari anyaman bambu, berlantai tanah, dan beratap daun kelapa kering.

Di dalam gubuk tersebut, hanya ada dipan beralas kasur kempes kusut dan kusam. Dipan itulah yang sekaligus digunakan sebagai kursi di ruang tamu. Sehingganya, selama ini pula tamu lebih banyak diterima Opa Sunu di  luar rumah sambil duduk di sebuah bangku, termasuk kami.

Saya tersenyum, lalu menundukkan kepala kepada Opa Sunu setelah mantan wartawan saya memulai perbincangan. “Ini pemimpin redaksi saya, yang tempo hari itu Opa bilang mau bicara-bicara. Mohon maaf baru bisa sekarang ada waktu,” ujar mantan wartawan saya di sore itu bersama Opa Sunu.

Dengan mata berkaca-kaca, Opa Sunu angkat bicara dalam dialek daerah Gorontalo. “Saya juga minta maaf, sudah mengganggu waktu Bapak. Saya pikir Bapak tidak akan mungkin mau datang bertemu dengan orang kecil sepeti saya. Dan ternyata, terima kasih sudah mau repot-repot datang ke rumah orang fakir-miskin seperti saya,” tutur Opa Sunu yang nampaknya memang sudah saling mengenal dengan mantan wartawan saya itu.

Jujur, saya belum mau mengorek alasan Opa Sunu mengapa ingin bertemu dengan saya. Saya lebih tertarik ingin menggali lebih dahulu sedikit kisahnya. Sebab, sang kakek ini ternyata dikarunia 7 orang anak (satu meninggal). Artinya, meski selama ini hanya hidup dalam kondisi yang sangat berkekurangan, namun Opa Sunu ternyata masih bisa menghidupi  keluarganya. Sehingga inilah yang membuat saya penasaran, dan Opa Sunu pun nampaknya tak keberatan menceritakan kisahnya.

Sejak dulu, Opa Sunu adalah petani tidak tetap yang sangat rajin dan aktif membuka lahan di sekitar pegunungan Molonggota, di Kecamatan Bongomeme. Ia menanam apa saja yang kelak hasilnya bisa dijual langsung ke pasar tradisional, seperti jagung, pisang, dan lain sebagainya.

Selain itu, dulu ia juga mengisi waktunya mencari nafkah tambahan dengan menyadap nira dari pohon aren untuk kemudian dijual ke pengelola gula aren.

Lahan yang sudah ia buka hingga sekarang pun masih sering ditanami jagung dan pisang. Hasilnya lebih banyak hanya untuk dimakan bersama keluarganya. “Kalau kebetulan ada sedikit kelebihan, saya jual ke pasar. Jika laku terjual, saya bisa beli beberapa liter beras untuk mencampurnya dengan jagung untuk dimakan bersama keluarga,” ujar Opa Sunu.

Dengan kondisi seperti itu, membuat anak-anak Opa Sunu tak satupun yang bisa menikmati bangku sekolah, meski hanya di tingkat SD. Untung saja, sejumlah anaknya masih ada yang bisa pandai membaca secara autodidak.

“Jangankan untuk membiayai sekolah, untuk memasang listrik saja sampai sekarang belum bisa. Dan jangankan listrik, mau beli pakaian baru saja untung kalau bisa beli sehelai dalam lima tahun,” ujar Opa Sunu sambil menelan ludah yang terlihat dari gerakan jakun di lehernya, seraya menambahkan bahwa pakaian (baju dan celana) yang  terbaru ia punyai terakhir adalah berasal dari pemberian orang lain sekitar 4 tahun lalu.

Opa Sunu hingga saat ini masih menanam Jagung dan Pisang, tetapi kegiatan bertani itu sudah tidak lagi seaktif dulu. Karena untuk menuju kebun yang dijadikan lahan bertani tersebut harus menempuh jarak sekitar 2 kilometer dan harus melintasi Sungai Tohupo yang kedalamannya sekitar selutut orang dewasa tetapi alirannya cukup deras.

Sehingga itu, Opa Sunu pun kini lebih memilih mencari kesibukan lain. Yakni dengan mengumpulkan pucuk daun palem dari pohon aren untuk diolah tipis-tipis hingga menjadi lintingan pembungkus rokok tembakau. Orang-orang di daerah Gorontalo menyebut pembungkus rokok tembakau itu dengan nama “haulalahe” (rokok kuningan).

Disebut haulalahe karena mungkin lintingan pembungkus rokok tembakau saat ini kebanyakan dibungkus dengan kertas tipis berwarna putih. Dan ini cukup berbeda dengan haulalahe yang warnanya kekuning-kuningan.

Membuat haulalahe inilah yang kini ditekuni Opa Sunu setiap hari untuk dijual ke pasar. Satu gulungan lintingan besar haulalahe biasanya mencapai 300 helai daun aren yang hanya dihargai antara Rp.10 ribu hingga Rp.15 ribu. Itupun tidak selamanya orang ingin membeli sampai 300 helai, dan umumnya hanya kalangan lansia yang membeli haulalahe ini dalam jumlah paling banyak 50 helai dengan harga sekitar Rp.2.500.

Tentu saja Opa Sunu juga tak bisa banyak berharap dari hasil penjualan hualalahe. Apalagi sejumlah anaknya juga masih harus hidup bersama dalam satu gubuk yang mereka huni saat ini. Sehingga itu, Opa Sunu pun kadang menawarkan jasa untuk memelihara hewan ternak milik orang lain.

Hal yang membuat saya salut kepada Opa Sunu adalah semangat dan tanggungjawabnya terhadap keluarga yang dimilikinya tak pernah surut, meski kondisi matanya kini mengalami katarak akibat serbuk-serbuk aren yang tak jarang menimpa wajahnya di masa lalu saat masih aktif memanjat pohon aren.

“Mau makan apa istri dan anak saya kalau saya tidak mencari nafkah buat mereka. Apa saya harus menunggu pemerintah untuk memberikan bantuan hidup kepada keluarga saya?” ujar Opa Sunu yang mengaku hingga kini tak pernah ingin bergantung hidup kepada pemerintah. Sebab, pemerintah di mata Opa Sunu hanya sibuk mengurus orang-orang tertentu yang bisa mendatangkan keuntungan buat pemerintah itu sendiri, bukan orang miskin seperti dirinya.

Opa Sunu mengungkapkan, sejauh ini tak terhitung lagi sudah berapa kali orang-orang dari pemerintahan mendata dan mengukur serta mengambil gambar (foto) rumahnya. “Katanya untuk dapat bantuan mahyani (rumah layak huni) dan bantuan lainnya. Tapi sampai detik ini belum ada satu pun yang jadi kenyataan,” tutur Opa Sunu geleng-geleng kepala.

Namun meski begitu, Opa Sunu mengaku selalu bersyukur kepada Tuhan karena masih diberi kesempatan untuk  menjalani hidup ini dengan apa adanya tanpa harus membebani pemerintah. Namun meski begitu, Opa Sunu masih sangat berharap agar negara ini bisa melahirkan pemimpin yang punya kepedulian besar terhadap ekonomi rakyat.

Dan ternyata, harapan itulah yang menjadi alasan bagi Opa Sunu sampai ingin bertemu dengan saya. “Sekitar tahun lalu saya diberi majalah oleh wartawan Bapak ini,” ujar Opa Sunu sambil menunjuk ke arah mantan wartawan saya. Ia lalu beranjak masuk ke dalam rumahnya mengambil dan memperlihatkan sebuah majalah, yang ternyata memang betul majalah itu adalah majalah edisi penghabisan yang saya terbitkan setahun lalu.

Opa Sunu membuka halaman majalah tersebut lalu menunjuk sebuah artikel. Dan artikel itulah kiranya yang membuat semangat Opa Sunu merasa bangkit untuk kembali menggantungkan harapannya sebagai fakir-miskin agar juga bisa mengalami perubahan. Paling tidak, menurut Opa Sunu, sebelum hidupnya berakhir, ia masih bisa merasakan dan menikmati sedikit saja hasil kemerdekaan negara ini.

“Saya selalu berdoa semoga orang seperti ini bisa menjadi memimpin di negeri ini,. Dan saya sangat berharap bisa ikut terpilih pada Pemilihan Presiden tahun ini,” ujar Opa Sunu sambil menunjuk gambar (foto) Rizal Ramli yang terpajang dalam artikel di majalah itu.

“Karena memang dari dulu saya tidak punya televisi, dan tidak ada radio, karena memang tidak mampu pasang listrik. Jadi majalah inilah yang selama satu tahun ini yang saya dan anak-anak saya buka-buka. Dan saya sangat senang kalau yang ini (sambil menunjuk lagi wajah Rizal Ramli) jika berhasil jadi pemimpin tahun ini. Bapak kan yang tulis ini? Dan terima kasih sudah kasih informasi bahwa ternyata masih ada harapan negara kita ini untuk bisa berubah kalau beliau (Rizal Ramli) bisa terpilih jadi pemimpin,” jelas Opa Sunu.

Opa Sunu mengungkapkan penolakannya terhadap calon-calon pemimpin yang akan dimajukan pada Pilpres 2014 mendatang jika berasal dari kalangan lain. “Saya tidak setuju kalau calon-calon pemimpin yang banyak didukung oleh partai-partai itu adalah dari sosok pedagang, militer, atau ahli hukum. Sosok seperti itu hanya membawa suasana ‘panas’ di negeri ini,” tegas Opa Sunu.

Pemimpin yang membawa suasana “panas” menurut Opa Sunu adalah pemimpin yang tidak akan mampu memperbaiki nasib dan kesejahteraan orang-orang miskin. Sehingga itu, Opa Sunu sangat mengharapkan pemimpin yang bisa terpilih nanti pada Pilpres ini adalah benar-benar sosok yang ahli ekonomi yang handal dan tegas memperjuangkan ekonomi rakyat agar juga dapat ikut menjadi sejahtera.

Terjadi dialog yang cukup menarik antara kami dengan Opa Sunu. Opa Sunu bahkan setuju dengan pandangan yang saya berikan kepadanya. Bahwa calon-calon pemimpin yang berasal dari kalangan militer, pengusaha, dan ahli hukum tak perlu dimajukan pada Pilpres 2014 jika hanya karena alasan untuk membenahi birokrasi dan kasus-kasus korupsi di negara ini.

Jika hal itu yang menjadi alasan dimajukannya sosok-sosok dari kalangan militer, ahli hukum dan pengusaha sebagai calon-calon pasangan pada Pilpres 2014, maka betapa enaknya menjadi seorang birokrat, yang sudah mendapat gaji dari negara, kini malah ingin “minta” diurus pula. Harusnya, birokrat-lah yang mengurus rakyat. Apabila tidak mampu menunaikan tugasnya, ya, dipecat saja! “Yaa… memang rakyatlah yang harus diurus, bukan orang-orang yang sudah dikasih makan dan sudah dijamin oleh negara yang lagi-lagi mau diurus lagi,” lontar Opa Sunu membenarkan pandangan saya.

Olehnya itu, Opa Sunu mengajak seluruh orang-orang miskin untuk ikut berdoa agar Pemilu ini bisa melahirkan sosok pemimpin yang ahli ekonomi, yang benar-benar  tangguh dan handal memperjuangkan ekonomi rakyat seperti Dr. Rizal Ramli. “Semoga Allah membukakan pintu hati dan kesadaran seluruh rakyat di negara ini untuk bisa mendukung sosok yang ahli ekonomi untuk menjadi pemimpin yang bisa mengatasi dan membenahi persoalan ekonomi rakyat miskin, seperti saya ini,” pungkas Opa Sunu dengan mata yang berkaca-kaca, seraya menambahkan bahwa ini adalah sebuah doa panjang yang sudah sangat lama tanpa rasa jenuh ia mohonkan dengan penuh harap agar suatu saat dapat terwujud.

SALAM PERUBAHAN…!!!