Sunday, 13 April 2014

“Gantung Sepatu”, Ini yang Sebaiknya Dilakukan JK Sekarang

(AMS, opini)
ARTIKEL ini adalah kelanjutan dari tulisan saya sebelumnya di Kompasiana, berjudul: “Memprihatinkan Jika ‘Janda’ SBY Ingin Dipersunting PDIP”, yang kemudian mendapat tanggapan dari kubu Jusuf Kalla melalui rmol.com.

Meski begitu, artikel ini saya tulis bukanlah sebagai sanggahan balik untuk saling menanggapi, dan juga bukanlah bermaksud ingin menurunkan “birahi politik” sang “janda” (mantan pendamping) SBY tersebut untuk maju dalam pilpres 2014, sama sekali tidak. Silakan saja jika JK sangat ngotot untuk kembali mengulang kegagalannya dalam Pilpres 2009 silam!


Sebagai orang yang juga punya 100% darah Makassar campuran Bugis, maka secara subjektif saya pasti mendukung JK. Artinya, tanpa mau tahu apakah JK malaikat atau iblis, tentu saya akan tetap mendukung sebagai sesama suku Makassar-Bugis.

Tetapi sayangnya, ini bukan persoalan sesama darah Makassar-Bugis atau karena berasal dari suku yang sama. Sungguh, sama sekali bukan itu persoalannya!

Semua ini adalah semata menyangkut kehendak dan tuntutan Rakyat seluruh Indonesia, yang sudah sejak dulu sangat mengharapkan adanya perubahan mendasar di negeri ini.

Dari Aceh hingga Papua, Rakyat kita hingga kini masih sangat banyak yang berteriak, menjerit, dan menangis karena kebanyakan terhimpit masalah ekonomi. Mereka butuh pasangan pemimpin baru yang mampu membawa pembaharuan, bukan sosok yang sudah pernah diberi kesempatan menjadi pemimpin (presiden/wapres). Sebab, masa iya ratusan juta aset “stock” SDM intelektual kita tak satupun yang bisa diperjuangkan jadi pemimpin perubahan selain hanya yang itu-itu saja?

Jika pemimpin yang kita lahirkan pada pilpres 2014 ini ternyata hanya memunculkan sosok yang sudah pernah menjabat sebagai presiden atau wapres,  maka itu berarti negara kita sesungguhnya telah gagal mencetak dan menelorkan generasi unggulan untuk dijadikan pemimpin baru dengan “otak baru” yang lebih handal. Atau mungkin di negeri ini memang tidak ingin memberikan kesempatan kepada orang lain yang juga dinilai lebih layak untuk memimpin negerinya?

Sebetulnya ketika saya harus mengatakan yang pahit-pahit tentang JK, tentulah itu bukan berarti saya membenci JK. Saya justru sangat peduli dengan tokoh nasional yang berhasil menjadi ikon utama bagi orang-orang Sulawesi, khususnya Bugis-Makassar itu.

Saya cuma merasa sedih, bahwa selama ini tidak sedikit pandangan miring dimunculkan oleh berbagai pihak yang sulit dibantah tentang kelemahan diri JK. Dan saya tak ingin hal itu akan lebih membuat orang-orang Bugis-Makassar bertambah malu.

Pandangan miring tersebut di antaranya adalah ketika era pemerintahan SBY-JK, JK dinilai sangat mandul dan kerap melakukan “outside” saat menjadi wapres, sampai itu pecah kongsi sulit dihindari pada Pilpres 2009, SBY-JK pun “bercerai”.

Istilah mandul dan outside yang dimaksud itu tentu saja adalah seputar diri JK yang dinilai oleh banyak kalangan, bahwa sejak menjadi wapres, JK lebih cenderung berorientasi menyelamatkan, mengutamakan dan memperkuat perusahaan bisnis keluarganya.

Misalnya diduga kuat proyek-proyek pekerjaan pembangunan yang memiliki anggaran besar tak jarang harus melibatkan perusahaan milik keluarga JK, contoh dekat adalah tabung gas, dsb. Dan cara-cara seperti ini tentu saja dipandang sebagai “pelanggaran” karena hanya akan membuat perusahaan-perusahaan lain tak bisa berbuat banyak.

Selain itu, selama menjadi Wapres, JK diduga banyak melakukan nepotisme, yakni disinyalir banyak menempatkan orang-orang Bugis-Makassar di posisi strategis dengan hanya pendekatan suku. Bayangan banyak pihak kemudian mengarah kepada sosok seperti Andi Mallarangeng (AM), yang kemudian akhirnya hanya tersangkut kasus korupsi mega-proyek Hambalang.

Pandangan miring lainnya yang dinilai sebagai kelemahan JK, misalnya ketika bicara  di depan publik, JK sering sulit kontrol diri sampai-sampai tak sadar sudah belepotan, tanda bahwa JK sudah uzur.

Dan mungkin karena usianya sudah senja, maka JK tentu dinilai sudah lambat loading dan telmi (telat mikir). Dan kondisi seperti ini dianggap sangat gampang terkena “tipu”. Dan hal ini bisa kita tengok dari kronologis terjadinya kasus Bailout Bank Century, yakni bagaimana negara bisa “kecolongan” ketika itu.

Mungkin semua hal tersebut di atas sedikit pahit, namun hal-hal seperti itu penting saya katakan karena sejauh ini sudah menjadi perhatian serta sorotan banyak pihak, dan tak jarang dijadikan sebagai bahan “ejekan” yang sulit dibantah, artinya semua itu juga ada benarnya.

Selanjutnya, meski beberapa survei saat ini memberi nilai tertinggi kepada JK sebagai sosok terkuat untuk posisi cawapres 2014, namun hal itu tidak berlaku di mata Partai Demokrat khususnya SBY di Pemilu sebelumnya dan juga bagi sebagian besar kalangan lainnya saat ini.

Artinya, jika memang JK adalah sosok pemimpin yang dinilai berhasil pada periode pertama dan dianggap akan mampu mengatasi persoalan bangsa di masa depan, maka sudah pasti SBY akan sekuat tenaga mempertahankan JK sebagai pendamping (wapres) untuk periode kedua pada Pilpres 2009.

Juga jika JK dianggap sosok pemimpin masa depan yang diyakini masih dibutuhkan pada Pilpres 2014, maka sudah pasti Partai Golkar akan ngotot mempertahankannya sebagai Ketua Umum (Ketum) Partai Golkar, bukan memilih ARB.

Lagi pula, satu hal yang perlu digarisbawahi, bahwa JK menjadi Ketum Partai Golkar sepertinya adalah karena lebih dipengaruhi oleh posisinya ketika itu yang berhasil menjadi Wapres. Artinya, JK sama sekali belum bisa disebut hebat dan piawai sebagai Ketum Partai Golkar, sebab jabatan selaku Ketum tersebut baru diterimanya saat berhasil menjadi Wapres.

Ukuran kualitas JK sebagai Ketum bisa disebut hebat atau tidak barulah bisa diuji dan ditentukan pada Pilpres 2009. Dan hasilnya adalah gagal. Andai saja JK adalah sosok pemimpin yang tertinggi kualitasnya, maka seharusnya pasangan JK-Win tidak berada pada posisi ketiga dalam perolehan suara pada Pilpres 2009 silam.

Sehingga kalau saja tidak ada pandangan miring berikut fenomena-fenomena riil seputar JK seperti di atas, maka diminta atau tidak, maka tentu saya turut bergegas akan mati-matian mendukung JK untuk dapat kembali memimpin negeri ini.

Namun sayangnya, dan maaf, saya harus jujur menilai, bahwa JK saat ini sepertinya sangat sulit menyembunyikan nafsu politiknya yang sangat besar bagai seorang “pemburu kekuasaan”.

Sekali lagi maaf, saya harus menyebut seperti itu karena setelah merasakan nikmatnya menjadi menteri, lalu berhasil menjadi Wapres, dipercaya menjadi Ketum Golkar, kemudian setelah gagal terpilih sebagai presiden, sekarang JK malah ngotot mengincar posisi wapres dengan usia yang sudah tua bersaing (untuk menyingkirkan) para pendatang baru. Sehingga inilah yang membuat saya kesulitan mencari alasan tepat untuk ikut mendukung JK secara logis.

Dan Secara objektif juga harus saya katakan, bahwa saya salut dengan sosok seperti Megawati Soekarnoputri, meski juga pernah merasakan menjadi presiden, lalu gagal pada pilpres 2004 dan 2009, namun Megawati bisa cepat-cepat menyadari diri dengan memberi kesempatan kepada yang lain untuk menjadi pemimpin.

Di lain sisi, saya juga harus mengakui ketangguhan Prabowo Subianto, yang meski sampai saat ini merasa terus “dianiaya” oleh lawan maupun “kawannya”, namun ia tetap memperlihatkan kemajuannya sebagai pejuang politik tangguh yang start dari awal dengan susah payah mendirikan partai sendiri (bukan partai yang sudah besar) hingga dapat menjadi seperti saat ini.

Artinya, meski belum pernah menjabat wapres apalagi sebagai presiden, tetapi Prabowo nyatanya bisa membuktikan diri mampu dan berhasil mengangkat perolehan suara partainya pada Pileg 2014 yang baru lalu.

Walau kedua tokoh tersebut (Megawati dan Probowo) juga memiliki kepingan-kepingan kelemahan yang sangat terlihat, dan pula tak luput dari pandangan miring, namun setidaknya keduanya dapat disebut sebagai tokoh politik kontemporer sehingga tak salah untuk dijadikan contoh bagi para politisi junior maupun senior, termasuk bagi JK.

Olehnya itu, sebagai saran dari saya, sangat bijak apabila JK “gantung sepatu” saja daripada memaksakan diri untuk kembali “bermain” yang nantinya  justru bisa lebih banyak melakukan “outside” seperti sebelumnya yang diduga oleh berbagai pihak saat masih menjabat wapres.

Artinya, sebagai sosok yang sudah pernah menjadi menteri dan wapres, JK sangat lebih “terhormat” apabila memberi kesempatan dan segera mendukung para pendatang baru atau “otak baru” untuk dapat dilahirkan sebagai pemimpin.

Namun apabila JK tetap bernafsu besar ingin mewujudkan ambisi politiknya tanpa melibatkan banyak pertimbangan politis, psikologis, dan sosiologis, maka silakan saja! Sebab, itu adalah hak masing-masing individu, termasuk JK.

Tetapi dengan kesadaran tinggi sebagai suku Makassar-Bugis, saya tentunya juga patut mengingatkan, bahwa selama ini jabatan tinggi yang pernah diduduki oleh JK maupun AM atau kawanua lainnya jika hanya menjadi “pil pahit” untuk ikut ditelan oleh sesama suku, maka hal itu tentu bukanlah suatu hal yang bisa dibanggakan, melainkan adalah suatu hal yang bisa menghinakan.

Pammopporanga Karaeng, Pammopporanga Puang.

————

SALAM PERUBAHAN 2014…!!!