Thursday, 24 April 2014

Cawapres PDIP Tak Cocok Dari Sosok Soldier, Trader, Older, and Politician

(AMS, opini)
ARTIKEL ini masih sebagai opini, masukan dan rangkaian saran dari saya buat seluruh parpol, terutama bagi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) sebagai pemenang Pileg 2014.

Bahwa  jika benar-benar PDIP ingin mendapatkan amanah dari rakyat sebagai pemenang Pilpres 2014, dan serius menjadi parpol “wong cilik” dengan sungguh-sungguh ingin mewujudkan perubahan yang pro-rakyat, maka pilihlah sosok Cawapres yang dengan jelas-jelas dinilai tegas dan cergas memperjuangkan ekonomi konstitusi. Bukan cawapres yang berasal dari “Soldier, Trader, Older, and Politician”.


Atau dengan kata lain, jika PDIP ingin mendapat kepercayaan dari “wong cilik” untuk memimpin negara ini, maka PDIP sebaiknya  menunjuk dan memilih sosok Cawapres  yang berasal dari “wong-cilik” pula. Yakni, sosok yang tidak berasal dari partai tetapi selama ini dinilai memiliki ketegasan dan kecergasan sejak dulu memperjuangkan ekonomi konstitusi.

Dan sebaiknya, bukan berasal dari kalangan Militer, Pedagang, Orang yang sudah sepuh, dan juga politikus (atau gembong politik). Yang kemudian ini saya sebut dengan istilah “STOP= Soldier, Trader, Older, and Politician”.

Mengenai “STOP” tersebut, silakan bisa menengok ke belakang sejenak untuk menganalisa dan mengambil pelajaran dari tiga “pengalaman buruk” yang sempat dialami oleh PDIP, baik ketika berada dalam pemerintahan maupun pada momen pergantian pemerintahan (Pilpres) di masa lalu.

“Pengalaman buruk” yang saya maksud itu, pertama adalah ketika Megawati Soekarnoputri menjadi Presiden didampingi seorang politisi (politician) Hamzah Haz sebagai Wapresnya, dinilai mandul.

Bahkan tidak sedikit pihak menyebut pemerintahan Mega-Hamzah hanya “berbuah rapor merah” yang ditandai dengan terjualnya sejumlah aset penting negara kala itu. Dan ini boleh dikata sebagai bukti mandulnya atau tidak adanya gagasan dan terobosan pengelolaan ekonomi negara secara positif.

“Pengalaman buruk” kedua, adalah ketika Megawati untuk pertama kalinya maju dalam pertarungan Pilpres 2004 mengalami kekalahan berpasangan dengan sosok yang sebenarnya memiliki massa riil yang melimpah, yakni Hasyim Muzadi. Di mana dalam perjalanan karir organisasi dan politiknya, Kiai yang lahir tahun 1944 ini pernah menjadi pimpinan PPP, menjadi anggota DPRD tingkat I dan II di Jawa Timur, serta ketika itu (Pilpres 2004) ia masih menjabat Ketua Umum PBNU (PBNU, basis organisasi lahirnya PKB). Sayangnya, Megawati di mata publik terlanjur dicap “gagal” ketika berpasangan dengan seorang politisi (Hamzah Haz).

Selanjutnya, “pengalaman buruk” ketiga adalah ketika Megawati untuk kedua kalinya maju pada Pipres 2009 sebagai Capres berpasangan dengan seorang Cawapres dari kalangan “soldier” (militer), lagi-lagi mengalami kekalahan.

Menurut saya, memilih Prabowo yang berasal dari kalangan militer sebagai Cawapres ketika itu boleh dikata adalah sebuah “kenekatan” atau kesalahan fatal dari PDIP.

Bukan karena “pribadi” Prabowo yang tengah berhadapan dengan masalah “kontroversial”, tetapi saya lebih melihat karena adanya sosok militer yang juga maju dalam Pilpres 2009 tersebut.

Dahulu dalam hitung-hitungan saya, pasangan Mega-Prabowo sangat sulit memenangkan Pilpres 2009. Begitu pun dengan JK-Wiranto. Meski kedua sosok “soldier” ini (Prabowo dan Wiranto) berasal dari partai masing-masing (sebagai kader), namun sangat sulit bagi keduanya untuk meraih suara terbanyak.

Sebab, ada sosok “soldier” lain yang maju bukan sebagai Cawapres, tetapi sebagai Capres. Artinya, bagi kalangan keluarga besar militer (TNI/Polri) ada kecenderungan besar sebagai bentuk “solidaritas” untuk tentunya akan lebih memilih sosok “soldier” yang maju sebagai Capres daripada yang hanya maju sebagai  Cawapres. Dan hitungan ini belum termasuk pemilih yang tidak simpati kepada kedua sosok Cawapres tersebut. Sehingganya, jangan heran mengapa pasangan SBY-Boediono mendulang banyak suara hingga 60,80% pada Pilpres 2009 silam tersebut. Padahal Boediono bukanlah berasal dari kader partai mana pun.

Dan hal inilah salah satunya yang sangat patut dicermati oleh PDIP dalam menentukan Cawapres 2014.

Namun apabila PDIP tetap ngotot, misalnya, nekat mengambil dan memilih sosok Cawapres yang berasal dari kalangan militer, maka hitung-hitungan saya pada 2009 akan kembali terjadi pada Pilpres 2014 ini. Yakni, Prabowo sebagai Capres akan lebih berpotensi meraup suara terbanyak dari kalangan keluarga besar militer, apalagi jika Prabowo akan berpasangan dengan seorang yang paham dengan pengelolaan perekonomian negara, maka tentu itu akan menambah berpeluang Prabowo terpilih sebagai presiden.

PDIP dalam menghadapi Pilpres 2014 kali ini, hendaknya tak perlu kuatir atau cemas terhadap suara yang berasal dari kalangan keluarga besar TNI/Polri akan sulit dirangkul apabila tidak menjadikan sosok Militer sebagai Cawapres. Pandangan seperti ini justru sangat keliru, sebab telah diujicoba pada Pilpres 2009, namun hasilnya sangat jauh meleset.

Ada hal lain selain suara dari kalangan keluarga besar militer yang juga harus dipikirkan oleh PDIP. Yakni bagaimana “membujuk” dan meyakinkan kaum Golput yang jumlahnya sangat tinggi itu agar bisa tertarik dan terpanggil untuk bersimpati kepada PDIP. Caranya, tentu saja harus benar cermat memunculkan pasangan calon yang tepat sesuai kebutuhan wong cilik saat ini.

Selanjutnya, PDIP juga sebaiknya tidak memilih sosok Cawapres yang berasal dari kalangan “trader” atau pedagang ( pengusaha). Apalagi usia pedagang tersebut sudah sepuh alias “older”. Sebab ini nantinya sangat mempengaruhi  jalannya pemerintahan yang dinilai akan mengalami ketidakselarasan dan disorientasi dalam menata ekonomi bangsa: “yang satu berpikir untuk wong cilik, namun yang satunya berotak pedagang untuk kepentingan kelompok bisnisnya”.

PDIP saat ini sebelum menetapkan Cawapres seharusnya belajar dari “pengalaman mulus” SBY pada Pilpres 2009 yang mampu memenangkan satu putaran setelah “berpisah dari sang pedagang atau sang istri tuanya” itu sebagai pasangan pada periode pertamanya. Yakni dengan cermat memilih Boediono sebagai Cawapres.

Padahal sekali lagi, Boediono ketika dipilih sebagai Cawapres berusia 66 tahun (lebih mudah setahun dari pendahulunya) itu bukanlah sosok yang berasal dari kalangan militer, trader, apalagi dari parpol tertentu lain. Namun di situlah letak kecerdasan dan kecermatan SBY dalam memilih pasangan yang tepat dalam memenangkan Pilpres 2009 silam.

Sehingga itu, Cawapres PDIP jangan STOP…?!?!?! Karena besar kemungkinan justru ini yang akan membuat PDIP mengalami “stop” (gagal) memasuki kejayaan di Pilpres 2014 sebagai parpol wong cilik untuk menjadi penguasa.

——–

SALAM PERUBAHAN 2014…!!!