(AMS, opini)
KETIKA ku tahu para parpol korup masih sedang diikutkan dalam Pemilu, maka kuyakin hanya ada kemunafikan, kebohongan dan kecurangan yang akan mementukan kemenangan.
Dan ketika parpol korup itu meraih kemenangan, maka ku yakin hanya ada keangkuhan, keserakahan dan kesewenang-wenangan yang akan menentukan setiap kebijakan di negeri ini. Dan rakyat pun terlupakan.
Sehingga itu, Rakyat harusnya sadar, betapa buruknya sebuah kemenangan yang diraih melalui kemunafikan, kebohongan, dan kecurangan yang dilakukan oleh para parpol korup.
Dan rakyat juga mestinya paham betapa rusaknya negeri ini jika dikuasai oleh parpol korup yang membuat setiap kebijakan secara angkuh, serakah dan sewenang-wenang.
Olehnya itu, sebelum parpol korup menyalahgunakan kekuasaannya, maka tugas rakyat untuk tidak sekali-kali memilih parpol korup dalam Pemilu. Ingatlah, bahwa Tuhan memberikan hati dan pikiran kepada kita (manusia) salah satunya adalah bukan untuk disalahgunakan dalam menentukan pilihan yang salah.
Namun jika toh hati dan pikiran kita selalu saja bermasa bodoh dan “keras kepala” untuk tetap menentukan pilihan yang salah dalam Pemilu, (mungkin) karena telah diberi uang suap, maka ku yakin Tuhan akan kembali memberi peringatan kepada kita dengan cara-cara yang menyakitkan.
Memang betul, hati dan pikiran itu adalah menjadi hak kita masing-masing. Kita bebas dan berhak untuk menggunakannya sesuai keinginan nafsu kita.
Tetapi jangan lupa, bahwa selain merupakan hak, hati dan pikiran itu sesungguhnya juga wajib digunakan di jalan kebenaran dan keselamatan bagi seluruh umat. Bukan untuk memperoleh kepuasan kelompok atau diri sendiri! Sebab, Pemilu diselenggarakan adalah untuk kebaikan seluruh rakyat dalam konteks bernegara.
Sehingga, apabila kita sudah tahu, bahwa Pemilu adalah ajang untuk memperbaiki diri dari kerusakan, maka tentu kita sangat membutuhkan sosok pemimpin atau wakil rakyat yang bukan berasal dari parpol korup.
Ingatlah, bahwa Pemilu hanya dilakukan sekali dalam 5 tahun. Jadi sangat bodoh jika kita sebagai rakyat harus tergiur dengan uang suap yang besarannya hanya sekitar Rp.50 ribu hingga Rp.300 ribu yang diberikan oleh parpol korup.
Uang suap sebesar itu boleh jadi adalah memang milik rakyat yang telah dirampok oleh parpol korup, lalu dibagi-bagikan kepada rakyat pula di saat kampanye atau di saat “Serangan Fajar”.
Ingatlah, uang suap (baik melalui kampanye maupun serangan Fajar) dari parpol korup itu, tidaklah sama sekali memperoleh keberkahan buat kita. Justru, ketika parpol korup itu menang karena hasil suap (rakyat disuap, mungkin juga KPU dan Bawaslu juga disuap) maka Tuhan tentu akan menyediakan “perhitungan” buat kita yang selalu saja bangga dengan dosa dan segala kesalahan.
Olehnya itu, sebelum Tuhan memberikan “perhitunganNYA” kepada kita, maka sebaiknya kita lebih dulu “menghitung-hitung” kemungkinan akan adanya “perhitungan” dari Tuhan sebagai kerugian yang bakal kita alami kelak, yakni dengan menggunakan hati dan pikiran kita masing-masing untuk tidak memilih pemimpin dari parpol yang gemar munafik, bohong, curang, angkuh, serakah, dan sewenang-wenang.
Kita jangan pernah berpikir bahwa salah memilih pemimpin tidak ada hubungannya dengan “perhitungan” Tuhan. Sekali lagi, jangan pernah berpikir seperti itu!
Yakinlah, Tuhan akan pasti senantiasa menjaga negeri yang di dalamnya terdapat pemimpin yang tidak menyalahgunakan kekuasaannya, dan juga terdapat rakyat yang tidak menyalahgunakan haknya di saat memilih pemimpin.
Malapetaka terbesar buat rakyat bukan di saat ia kehilangan pemimpin, tetapi adalah ketika rakyat salah memilih pemimpin.
Sehingga itu, ketika ku tahu, ada tsunami, tanah longsor, gunung meletus, banjir dan lain sebagainya yang kerap menghantam negeri ini, maka ku yakin bencana alam tersebut sesungguhnya adalah peringatan sekaligus sebuah “perhitungan” dari Tuhan buat kita lantaran kerap salah memilih pemimpin.
Uang suap yang mungkin kita terima dari parpol korup pemburu kekuasaan, tentu tidaklah mampu membuat kita sejahtera, apalagi menjadi kaya mendadak. Tidak samasekali!!! Justru itulah yang saya sebut sebagai malapetaka terbesar buat kita.
Tidakkah “malapetaka” itu sudah kita rasakan sendiri secara lahir-batin selama ini? Bahwa rakyat Indonesia kini seakan hanya menjadi tamu di negeri sendiri. Rakyat Indonesia yang susah-susah memilih pemimpin, tetapi ketika pemimpin itu berhasil menduduki kekuasaannya, malah negara asing yang lebih banyak menikmati hasilnya.
Rakyat sudah susah payah memberi suaranya pada Pemilu, namun nyatanya kita hanya dijajah luar-dalam. Dari dalam, kita dijajah oleh parpol penguasa beserta para koalisinya yang korup, yakni dengan melahap dan merampas uang negara yang menjadi hak rakyat. Dan dari luar, kita sudah dijajah oleh negara-negara asing dengan menguasai banyak kekayaan alam kita. Itulah salah satu “malapetaka” buat kita karena selalu saja memilih pemimpin yang jelas-jelas berasal dari parpol korup.
Malapetaka lainnya, yakni ketika Tuhan memperlihatkan “perhitunganNYA” dengan memberi peringatan berupa banyak bencana alam yang tidak bisa diatasi oleh pemimpin korup yang kita pilih karena uang suap.
Dan bencana alam itu semestinya menjadi renungan buat kita. Bahwa, uang suap yang kita terima justru hanya sengaja mengundang bencana dan malapetaka untuk negeri ini.
Ingatlah, uang suap Rp.300 ribu misalnya, itu tidaklah mampu mengganti atau memperbaiki kerusakan rumah kita beserta perabotnya akibat banjir, tanah longsor dan lain sebagainya.
Memang betul, bencana alam bisa terjadi di mana saja. Artinya, bukan cuma terjadi di Indonesia. Tetapi kita jangan lupa, bahwa setiap kesalahan yang sudah diperbuat oleh manusia baik secara kelompok maupun individu, maka lambat atau cepat pasti ada ganjarannya.
Lalu ketika ku tahu, bahwa pada Pemilu kali ini belum ada parpol yang bisa dipercaya, maka haruskah ku paksakan diri melangkah ke TPS untuk memilih individu (kader) dari parpol korup sebagai pemimpin (atau wakil rakyat) yang kelak justru hanya akan mengundang malapetaka di negeri ini…????