(AMS, opini)
BERMULA dari Sidang Tahunan MPR-RI Tahun 2000, Presiden Abdurrahman Wahid menyatakan tentang pentingnya pengembangan Konsep Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).
BERMULA dari Sidang Tahunan MPR-RI Tahun 2000, Presiden Abdurrahman Wahid menyatakan tentang pentingnya pengembangan Konsep Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).
Pernyataan Presiden (Alm) Gus Dur itupun kemudian direalisasikan melalui upaya penyusunan konsep (rancangan) tentang Undang-Undang Jaminan Sosial (UU JS) oleh Kantor Menko Kesra (Kep. Menko Kesra dan Taskin No. 25KEP/MENKO/KESRA/VIII/2000, tanggal 3 Agustus 2000, tentang Pembentukan Tim Penyempurnaan Sistem Jaminan Sosial Nasional).
Sejalan dengan pernyataan Presiden ke 4 Indonesia tersebut, DPA-RI melalui Pertimbangan DPA RI No. 30/DPA/2000, tanggal 11 Oktober 2000, menyatakan perlu segera dibentuk Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat sejahtera.
Dalam Laporan Pelaksanaan Putusan MPR RI oleh Lembaga Tinggi Negara pada Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2001 (Ketetapan MPR RI No. X/MPR-RI Tahun 2001 butir 5.E.2) dihasilkan Putusan Pembahasan MPR-RI yang menugaskan Presiden RI “Membentuk Sistem Jaminan Sosial Nasional dalam rangka memberikan perlindungan sosial yang lebih menyeluruh dan terpadu”.
Pada 2001, Wapres Megawati Soekarnoputri mengarahkan Sekretarisnya untuk membentuk Kelompok Kerja Sistem Jaminan Sosial Nasional (Pokja SJSN - Kepseswapres, No. 7 Tahun 2001, 21 Maret 2001 jo. Kepseswapres, No. 8 Tahun 2001, 11 Juli 2001) yang diketuai Prof. Dr. Yaumil C. Agoes Achir dan pada Desember 2001 telah menghasilkan naskah awal dari Naskah Akademik (NA) SJSN.
Kemudian pada perkembangannya Presiden RI yang pada saat itu Megawati Soekarnoputri meningkatkan status Pokja SJSN menjadi Tim Sistem Jaminan Sosial Nasional (Tim SJSN-Keppres No. 20 Tahun 2002, 10 April 2002).
“NA SJSN merupakan langkah awal dirintisnya penyusunan Rancangan Undang-undang (RUU) SJSN. Setelah mengalami perubahan dan penyempurnaan hingga 8 (delapan) kali, dihasilkan sebuah naskah terakhir NA SJSN pada tanggal 26 Januari 2004. NA SJSN selanjutnya dituangkan dalam RUU SJSN,” ujar Sulastomo, salah satu TIM Penyusun UU SJSN pada saat itu.
Konsep pertama RUU SJSN, 9 Februari 2003, hingga Konsep terakhir RUU SJSN, 14 Januari 2004, yang diserahkan oleh Tim SJSN kepada Pemerintah, telah mengalami 52 (lima puluh dua) kali perubahan dan penyempurnaan. Kemudian setelah dilakukan reformulasi beberapa pasal pada Konsep terakhir RUU SJSN tersebut, Pemerintah menyerahkan RUU SJSN kepada DPR-RI pada tanggal 26 Januari 2004.
Selama pembahasan Tim Pemerintah dengan Pansus RUU SJSN DPR-RI hingga diterbitkannya UU SJSN telah mengalami 3 (tiga) kali perubahan. Sehingga dalam perjalanannya, Konsep RUU SJSN hingga diterbitkan menjadi UU SJSN telah mengalami perubahan dan penyempurnaan sebanyak 56 kali. Hingga Presiden Megawati pun akhirnya mensahkan UU No. 40/2004 tentang SJSN di detik-detik akhir jabatannya, yakni pada 19 Oktober 2004.
Dan ketika itu, rakyat tentu saja terasa akan menemukan “mata air di gurun”. Sekaligus dengan UU SJSN ini diyakini akan menghapus pandangan miring mata dunia selama ini kepada Indonesia sebagai ”negara tanpa jaminan sosial”.
Sejak disahkan dan diundangkan UU SJSN telah melalui proses yang panjang, dari tahun 2000 hingga tanggal 19 Oktober 2004. Dengan demikian proses penyusunan UU SJSN memakan waktu 3 (tiga) tahun 7 (tujuh) bulan dan 17 (tujuh belas) hari sejak Kepseswapres No. 7 Tahun 2001, 21 Maret 2001.
Namun apakah “nyawa” UU SJSN ini sudah langsung dapat menghidupi dan memberi jaminan sosial kepada rakyat..???
BELUMM….!!!! Sebab, sekitar 3 bulan perjalanan penguasa baru (Pemerintahan SBY) atau pada Januari 2005, UU SJSN kembali terusik. Sebab kebijakan ASKESKIN (Asuransi Kesehatan Keluarga Miskin) mengantar beberapa daerah ke MK untuk menguji UU SJSN terhadap UUD Negara RI Tahun 1945. Penetapan 4 BUMN sebagai BPJS dipahami sebagai monopoli dan menutup kesempatan daerah untuk menyelenggarakan jaminan sosial.
Selanjutnya, pada 31 Agustus 2005, MK menganulir 4 ayat dalam Pasal 5 yang mengatur penetapan 4 BUMN tersebut dan memberi peluang bagi daerah untuk membentuk BPJS Daerah (BPJSD).
Putusan MK dinilai makin memperumit penyelenggaraan jaminan sosial di masa transisi. Pembangunan kelembagaan SJSN yang semula diatur dalam satu paket peraturan dalam UU SJSN, kini harus diatur dengan UU BPJS. Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) pun akhirnya baru terbentuk. Pemerintah secara resmi membentuk DJSN lewat Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 110 tahun 2008 tentang pengangkatan anggota DJSN tertanggal 24 September 2008.
Pembahasan RUU BPJS berjalan alot. Namun dua Pembantu Presiden yang telah membentuk Tim Kerja, yakni Menko Kesra Meneg BUMN tidak menghasilkan titik temu. RUU BPJS tidak selesai dirumuskan hingga tenggat peralihan UU SJSN pada 19 Oktober 2009 terlewati.
Perhatian pun tertumpah pada RUU BPJS sehingga perintah dari 21 pasal yang mendelegasikan peraturan pelaksanaan terabaikan. Hasilnya, penyelenggaraan jaminan sosial Indonesia gagal menaati semua ketentuan UU SJSN yaitu 5 tahun.
Tahun berganti, namun “air di gurun” itu tak kunjung terlihat. Kondisi ini kemudian memaksa para tokoh pejuang sosial seperti DR. Rizal Ramli, Rieke Diah Pitaloka, Prof. Hasbullah Thabrany, Mudasir dan lainnya bersama kalangan buruh dan sejumlah aktivis LSM mendesak dengan melakukan aksi demo berkali-kali. Bahkan Ketua Umum KSPI (Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia) Ir. Said Iqbal begitu sangat militan menggerakkan para Buruh tanpa lelah di lapangan mendesak pemerintah agar RUU BPJS segera disahkan demi menjalankan UU SJSN kepada seluruh rakyat Indonesia.
DPR lalu mengambil alih perancangan RUU BPJS pada 2010. Perdebatan konsep BPJS kembali mencuat ke permukaan sejak DPR mengajukan RUU BPJS inisiatif DPR kepada Pemerintah pada Juli 2010. Bahkan zona perdebatan bertambah lebar, selain bentuk badan hukum, Pemerintah dan DPR tarik-menarik menentukan siapa BPJS dan berapa jumlah BPJS. Dikotomi BPJS multi dan BPJS tunggal pun diperdebatkan dengan sengit.
Setelah melalui proses panjang dan melelahkan, puluhan kali rapat yang setidaknya dilakukan tak kurang dari 50 kali pertemuan di tingkat Pansus, Panja, hingga proses formal lainnya. Termasuk di kalangan lingkup empat BUMN penyelenggara program jaminan sosial, yakni PT Jamsostek, PT Taspen, Asabri, dan PT Askes.Yang di dalamnya semuanya terdapat pro dan kontra seputar BPJS. Namun pada 29 Oktober 2011, DPR-RI akhirnya sepakat mengesahkannya menjadi UU No. 24 Tahun 2011 tentang BPJS.
Meski bukan sesuatu yang mudah, namun keberadaan BPJS mutlak ada sebagai implementasi dari UU No. 40 Tahun 2004 tentang SJSN tersebut, yang sepatutnya telah harus dijalankan sejak 9 Oktober 2009.
Lalu, apakah “nadi” UU SJSN ini sudah dapat berdenyut tanda dimulainya dilaksanakan Jaminan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia..???
LAGI-LAGI BELUMMM…!!!! Sebab, meski BPJS telah diterbitkan dalam sebuah UU formal, jalan terjal nan berkelok di depan ternyata masih harus dilalui. Segunung pekerjaan rumah (PR) masih harus dibenahi demi terpenuhinya hak rakyat atas jaminan sosial.
PR tersebut seperti, Dewan Komisaris dan Direksi PT Askes (Persero) dan PT Jamsostek (Persero) ditekankan oleh UU BPJS untuk menyiapkan berbagai hal yang diperlukan untuk berjalannya proses tranformasi atau perubahan dari Persero menjadi BPJS dengan status badan hukum publik. Perubahan tersebut mencakup struktur, mekanisme kerja dan juga kultur kelembagaan.
Mengubah struktur, mekanisme kerja dan kultur kelembagaan yang lama, yang sudah mengakar dan dirasakan nyaman, sering menjadi kendala bagi penerimaan struktur, mekanisme kerja dan kultur kelembagaan yang baru, meskipun hal tersebut ditentukan dalam Undang-Undang.
Pada Pasal 62 ayat (1) UU BPJS: “PT Jamsostek (Persero) berubah menjadi BPJS Ketenagakerjaan pada tanggal 1 Januari 2014”. Dan BPJS Ketenagakerjaan ini menurut Pasal 64 mulai beroperasi paling lambat tanggal 1 Juli 2015.
Dan dalam waktu dekat ini Pasal 60 ayat (1) akan segera dilaksanakan, yakni: “BPJS Kesehatan mulai beroperasi menyelenggarakan program jaminan kesehatan pada tanggal 1 Januari 2014”
Namun apakah rakyat dengan hati riang gembira akan menyambut pemberlakuan BPJS Kesehatan tanggal 1 Januari 2014 tersebut....????
Heiitt… tunggu dulu..!!! Mari kita tengok, mengapa kemudian banyak kalangan yang menolak SJSN dan BPJS ini?
Pertama UU SJSN dan BPJS ini menurut saya tidak memenuhi unsur dan rasa keadilan bagi seluruh Rakyat Indonesia. Sebab, menjelang BPJS Kesehatan beroperasi dalam menyelenggarakan program jaminan kesehatan tanggal 1 Januari 2014, Presiden SBY pada 16 Desember 2013 ternyata telah menandatangai dua Perpres. Yakni Perpres No.105 Tahun 2013 dan Perpres No.106 Tahun 2013.
Perpres No.105 Tahun 2013, SBY sebagai presiden menetapkan dan memutuskan untuk memberikan pelayanan kesehatan paripurna (lengkap dan penuh) melalui mekanisme asuransi kesehatan buat Menteri dan Pejabat Tertentu. Yakni yang disebut Menteri adalah menteri yang memimpin kementerian dan pejabat yang diberi kedudukan atau hak keuangan dan fasilitas setingkat menteri. Sedangkan Pejabat Tertentu adalah pejabat yang memimpin lembaga pemerintah non kementerian, pejabat eselon I, dan pejabat yang diberikan kedudukan atau hak keuangan dan fasilitas setingkat eselon I.
Sedangkan Perpres No. 106/2013 tentang Jaminan Pemeliharaan Kesehatan adalah bagi pimpinan lembaga negara, yang meliputi Ketua, Wakil Ketua dan Anggota DPR-RI; Dewan Perwakilan Daerah (DPD); Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK); Komisi Yudisial (KY); Hakim Mahkamah Konstitusi (MK); dan Hakim Agung Mahkamah Agung.
“Ketua, Wakil Ketua dan Anggota DPR-RI; Dewan Perwakilan Daerah (DPD); Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK); Komisi Yudisial (KY); Hakim Mahkamah Konstitusi (MK); dan Hakim Agung Mahkamah Agung diberikan pelayanan kesehatan paripurna melalui mekanisme asuransi kesehatan, yang merupakan peningkatan manfaat pelayanan kesehatan yang diberikan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan,” bunyi Pasal 2 Perpres No. 106/2013 itu. Seperti dilansir dalam laman setkab.
Perpres tersebut diterbitkan, sebab pemerintah mempertimbangkan risiko dan beban tugas para pejabat negara tersebut untuk perlu mendapatkan sinkronisasi pengaturan penyelenggaraan jaminan pemeliharaan diri.
Dalam Perpres disebutkan para menteri dan pejabat berhak memperoleh pelayanan kesehatan paripurna atau pensiun. Hal ini termasuk pelayanan kesehatan rumah sakit di luar negeri yang dilakukan dengan mekanisme penggantian biaya.
“Pelayanan kesehatan juga diberikan kepada keluarga menteri dan pejabat tertentu, dan keluarga ketua, wakil ketua dan anggota DPR, Dewan Perwakilan Daerah, Badan Pemeriksaan Keuangan, Komisi Yudisial, Hakim Mahkamah Konstitusi, dan Hakim Agung,” demikian bunyi perpres yang dirilis laman resmi Sekretariat Kabinet RI, Senin (23/12).
Anggaran penyelenggaraan pelayanan kesehatan paripurna bagi para pejabat tersebut akan dibebankan kepada anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Adapun, untuk pejabat daerah di bebankan kepada anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD).
Woww…sungguh amat senang tiada tara jadi pejabat negara!?! Gaji dan penghasilannya sudah tinggi malah di-plus..plus..plus dan plus lagi dengan fulus negara yang seharusnya masih bisa dibiayai sendiri oleh para pejabat tersebut. Padahal, sejauh ini mereka disumpah untuk lebih mengutamakan kepentingan rakyat, tapi kenyataannya justru seakan lebih mendahulukan kepentingannya sendiri.
Sementara itu, perusahaan asuransi yang memenangi tender jaminan kesehatan untuk pejabat tinggi adalah PT Asuransi Jasa Indonesia (Jasindo). Masa pertanggungan berlaku selama 1 tahun, dimulai sejak 1 Januari 2014.
Dihubungi terpisah, Direktur Operasi Ritel Jasindo Sahata L. Tobing, dilansir bisnisindonesia, mengatakan nilai premi yang didapat adalah sebesar Rp112 miliar untuk sekitar 5.500 pejabat. Nilai premi per orang rata-rata mencapai Rp20 juta pertahun.
Alasan kedua, mengapa SJSN dan BPJS merasa patut ditolak adalah karena adanya pembebanan iuran. Koordinator Lapangan Aksi Serikat Pekerja Nasional, Asep Saefuloh, seperti dilansir Poskota, menilai SJSN dan BPJS tidak mengatur prinsip-prinsip jaminan sosial, akan tetapi lebih berorientasi pada kepentingan bisnis semata. Buktinya, dalam UU No 40 tahun 2004 tentang SJSN, pasal 17 menegaskan setiap peserta wajib membayar iuran. “Artinya di sini rakyat dimandirikan dan negara melepaskan tanggung jawab untuk memberikan jaminan sosial kepada rakyat. Rakyat disuruh membayar iuran, nah tanggung jawab negara di mana?,” tuturnya.
Dan saat ini, Pemerintah telah menyepakati besaran iuran premi kepesertaan BPJS Kesehatan pekerja informal, yaitu Rp25.500 per bulan untuk layanan rawat inap kelas III, Rp42.500 untuk kelas II dan Rp59.500 untuk kelas I. Seperti dikutip metrotvnews.
Celakanya, rakyat sebagai peserta BPJS Kesehatan apabila tidak membayar iuran akan dikenakan sanksi (hukuman). Yakni Pasal 11 UU BPJS: ”Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, BPJS berwenang untuk”: huruf (f): “mengenakan sanksi administratif kepada Peserta atau Pemberi Kerja yang tidak memenuhi kewajibannya;” serta huruf (g): “melaporkan Pemberi Kerja kepada instansi yang berwenang mengenai ketidakpatuhannya dalam membayar Iuran atau dalam memenuhi kewajiban lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;..”
Selanjutnya Pasal 16 ayat (1) UU BPJS: “Setiap orang, selain Pemberi Kerja, Pekerja, dan penerima Bantuan Iuran, yang memenuhi persyaratan kepesertaan dalam program Jaminan Sosial wajib mendaftarkan dirinya dan anggota keluarganya sebagai Peserta kepada BPJS, sesuai dengan program Jaminan Sosial yang diikuti.”
Pasal 17 ayat (1) UU BPJS: “Pemberi Kerja selain penyelenggara negara yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2), dan setiap orang yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dikenai sanksi administratif.” Kemudian ayat (2): “Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa: a. teguran tertulis; b. denda; dan/atau c. tidak mendapat pelayanan publik tertentu.”
Coba simak Pasal ada 19 ayat (1) UU BPJS: “Pemberi Kerja wajib memungut Iuran yang menjadi beban Peserta dari Pekerjanya dan menyetorkannya kepada BPJS.” Dan ayat (2): “Pemberi Kerja wajib membayar dan menyetor Iuran yang menjadi tanggung jawabnya kepada BPJS.”
Pasal 19 ayat 1 dan 2 di atas adalah boleh dikata sebagai pasal “PEMAKSAAN DAN PENCENGKERAMAN”, karena diikuti dengan KETENTUAN PIDANA. Yakni Pasal 55: “Pemberi Kerja yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”
Mengetahui adanya KEWAJIBAN besaran iuran seperti itu, tentu saja istilah “Jaminan Sosial” tidak terpenuhi, bahkan boleh dikata yang ada hanyalah PENINDASAN dan PENGKHIANATAN terhadap rakyat. Sebab, harusnya UU “Jaminan Sosial” disusun dan diterbitkan untuk supaya TIDAK MENAMBAHK KESUSAHAN RAKYAT.
Olehnya itu, UU SJSN dan BPJS ini patut diduga istilah: “Jaminan Sosial” hanya sebagai kedok pemerintahan SBY untuk bisa lebih leluasa menghisap uang rakyat agar kiranya mungkin dapat digunakan dalam Pemilu 2014, dengan mungkin menjadikan BPJS sebagai “penampungnya”. Boleh jadi kan…??? Dan jika ini yang terjadi…maka BPJS boleh jadi juga = (sama dengan) Badan Pembantu Jaring Suara (pada Pemilu).
Sehingga itu SJSN ini ibarat hanya sebagai fatamorgana, dan BPJS cuma seakan sama dengan (=) Badan Pengkhianat Jaminan Sosial.
Jika begitu, maka lebih baik rakyat menggunakan uang mereka untuk keperluan yang lebih mendesak, misalnya beli tempe, bayar rekening PLN, PAM, bayar cicilan motor, atau bahkan lebih baik ditabung sendiri untuk diputar sebagai modal usaha kecil-kecilan, daripada harus disetor ke BPJS (yang nota bene bukan lagi BUMN) yang boleh jadi pada akhirnya hanya menjadi ladang korupsi bagi para koruptor.
“Dulu pada nggak setuju (mengulur-ulur waktu). Begitu jadi Undang-undang, (malah) ditunggangi pejabat (untuk kepentingannya). Sadis..!!??!!” ujar Rizal Ramli kepada penulis via BlackBerry Massenger, Kamis (26/12/2013).
Kasihan negeri ini. Apa iya pemerintah yang sedang berkuasa saat ini dipikirannya cuma selalu ingin membodoh-bodohi dan mengkhianati rakyatnya…????