Saturday, 7 December 2013

Mendunia Ada Mandela, juga Soekarno. untuk Sekarang di Indonesia Siapa..?

(AMS, opini)
NELSON Mandela, mantan pemimpin kelompok perjuangan anti-apartheid di Afrika Selatan (Afsel), kini telah tiada. Mandela menghembuskan nafas terakhirnya Kamis malam, 5 Desember 2013, yakni setelah dirawat selama berbulan-bulan akibat infeksi paru-paru yang dideritanya.


Pada hari wafatnya, Presiden Afsel saat ini Jacob Zuma langsung mengumumkan kepergian Mandela. Ia mengatakan Mandela “pergi dengan damai. Bangsa kita kehilangan putra terbaiknya,” kata Zuma.

Hm, mari kita sedikit meluruskan pengumuman Zuma. Bahwa bukan hanya Afsel yang kini merasa kehilangan. Tetapi dunia juga dipastikan sangat kehilangan sosok pejuang terbesar yang mampu mengubah karakter sosial dunia ini.

Ya, Mandela adalah perjuang yang mewujudkan Afrika Selatan sebagai negara demokratis, yakni tidak dipisahkan oleh ras. Dan sungguh tak gampang perjuangan seperti itu ditempuh, sebab ia harus mengorbankan dirinya di penjara selama 27 tahun di bawah rezim apartheid di Afrika Selatan.

Tepat pada 11 Februari 1990 Mandela dibebaskan, dan sekitar  50.000 orang pendukungnya sudah menunggu di luar penjara. Pada waktu itu Mandela mengatakan “perjuangan kita telah mencapai saat yang menentukan.”

Berkat perjuangannya, Mandela dianugerahi Nobel Perdamaian tahun 1993. Tahun 1994, ia terpilih menjadi Presiden Afrika Selatan, yakni presiden kulit hitam pertama pasca rezim apartheid. Namun Mandela menjabat hanya satu periode. Setelah lima tahun, ia tak mau lagi jadi presiden.

Di balik perjuangan Mandela, tentu ada pengorbanan darah dan air mata yang tak tercatat. Pernahkah kita membayangkan bagaimana rasanya hidup terpenjara selama 27 tahun, terpisah dari keluarga, anak dan istri, karena perjuangan yang kita yakini? Bagaimana bisa seseorang tetap teguh berjuang, tidak goyah, atau bahkan kemudian tidak menanam dendam kepada orang-orang yang telah memenjarakannya selama 27 tahun?

Namun, sebagai “pemenang sejarah”, Mandela tentu punya kesempatan untuk membalas dendam kepada rezim yang membuat hidupnya, dan kaum sebangsanya menjadi sengsara. Tapi Mandela tidak memilih jalan itu. Ia memilih jalan rekonsiliasi. Yakni dengan penuh keyakinan, Afrika Selatan ia tancapkan secara teguh sebagai negara yang harus dibangun bersama, tidak cuma oleh kaum kulit hitam, tapi juga kulit putih. Itulah kemuliaan seorang Mandela.

Kemuliaan lainnya, Mandela tidak haus kekuasaan. Buktinya, ia hanya berkuasa sebagai presiden selama satu periode. Sebagai pemimpin besar dan pejuang persamaan hak yang mampu tampil sebagai “pemenang sejarah”, Mandela tentu bisa saja membuat dirinya jadi presiden seumur hidup. Tetapi itu tidak dilakukan oleh Mandela.

Dan sungguh, kemuliaan Mandela ini tak mampu diikuti oleh figur-figur lain ketika terlanjur menjabat sebagai pemimpin negara maka akan sulit untuk ingin dilepaskannya. Bahkan jika perlu dipertahankan sekeras mungkin. Sehingga sekali lagi, Mandela sama sekali tidaklah demikian. Ia tak tergoda memiliki kekuasaan untuk waktu yang panjang, apalagi jika ingin mempertahankannya.

Karena bagi Mandela ketika menjadi Presiden, ekonomi Afsel mengalami kemajuan. Mandela yakin betul, perekonomian yang kuat berhubungan erat dengan perkembangan politik negara. Berakhirnya sistem apartheid berarti terbukanya kesempatan yang luas bagi warga kulit hitam untuk bekerja, baik sebagai buruh maupun sebagai seorang profesional untuk kemajuan bersama, yakni tentunya dengan tanpa membedakan hak dan kewajiban setiap orang.

Di Indonesia, sebetulnya kita punya banyak pejuang yang memiliki jiwa pemberani seperti Nelson Mandela. Misalnya di masa lalu, salah satunya ada Soekarno. Bahkan di mata Mandela, sosok Soekarno adalah tokoh yang  mampu membakar semangatnya memperjuangkan rakyat Afsel.

Mantan Menko Perekonomian Rizal Ramli punya catatan tersendiri tentang Mandela dan Soekarno. Yakni, kedua pejuang ini sama-sama hebat, karena sama-sama pemberani dalam memperjuangkan sebuah kemerdekaan atas segala bentuk penjajahan dan penindasan.

Dikatakannya, berkali-kali diancam akan dibunuh oleh lawan politiknya, Mandela tak kendur berjuang, begitupun dengan Soekarno. Sebab, keberanian Mandela menegakkan kebenaran ini juga yang diajarkan oleh Presiden Soekarno buat bangsa ini dan dunia internasional. Ia tahu akan dibunuh, seperti halnya Mandela, Bung Karno tidak mengeluh dan tak gentar. “Jiwa pejuang dan pemberani dari kedua tokoh inilah yang patut kita teladani,” lontar Rizal Ramli.

Setelah Soekarno, siapa lagi sosok yang memiliki jiwa perjuangan dan pemberani yang dimiliki Indonesia di zaman sekarang..??

Sebetulnya masih ada. Tapi dalam suasana politik seperti ini, maka sejumlah pihak tentu hanya akan memandang sinis beberapa sosok pejuang dan pemberani yang masih kita punyai itu. Dan inilah kelemahan kita di Indonesia yang kerap merasa masing-masing lebih “jago” dan merasa lebih “mulia” dalam bertindak.

Tetapi jika kita mau jujur, sesungguhnya, Indonesia memang masih memiliki sejumlah sosok pemberani yang juga masih senantiasa tetap berjuang untuk negeri ini. Salah satunya yang sangat menonjol adalah Rizal Ramli.

Maaf… ini bukan bermaksud mengultuskan seseorang, tetapi ini adalah sebuah pembenaran sejarah. Bahwa, eksistensi perjuangan Rizal Ramli memang sejak dulu juga telah ia mulai dengan sepenuh jiwa memperjuangkan hak-hak rakyat, hingga pula harus mendekam dalam penjara. Sama persis yang dialami oleh Nelson Mandela. Hanya saja memang skala kondisi dan waktunya berbeda dengan yang dialami dan yang dirasakan oleh Rizal Ramli.

Tapi mari kita menengok secuil sejarah Mandela.  Bahwa Mandela sempat kuliah di Universitas Witwatersrand jurusan hukum tahun 1943. Meski dia keluar dari kampus itu tahun 1948 karena kekurangan biaya, juga paling tidak karena telah banyak aktif sebagai seorang aktivis menentang pemerintahan (persis yang dihadapi oleh Rizal Ramli).

Dan di kampus dengan beragam etnis itu, Mandela melihat situasi Afrika yang radikal, liberal, rasis dan diskriminatif. Dari sinilah sikap anti apartheid-nya muncul.

Setelah serangkaian demonstrasi dan aksi, dia pun divonis seumur hidup pada Pengadilan Rivonia tahun 1962 karena Mandela dinilai telah melakukan percobaan menggulingkan pemerintahan. (Sekali lagi ini persis dengan sejarah yang pernah dilalui oleh Rizal Ramli)

Saya tidak bermaksud pula untuk menyejajarkan Rizal Ramli dengan Mandela atau Soekano. Tetapi saya yakin, Mandela dan Soekarno tentu sangat bangga jika mengetahui bahwa masih ada sosok pemberani yang setiap saat senantiasa berjuang tanpa putus untuk kepentingan orang banyak.

“Selamat jalan Mandela. Kami akan selalu melanjutkan perjuanganmu demi mengangkat harkat dan martabat manusia di muka bumi ini,” lontar Rizal Ramli. Seperti dikutip Majalah Perubahan.

Menurut Rizal Ramli, kebesaran dan kehebatan Mandela sebagai pemimpin dunia yang amanah, antikekerasan, humanis dan adil bijaksana tak cukup hanya dikenang masyarakat internasional, tapi harus menjadi teladan.

“Mati dan hidup ada di tangan Tuhan. Kalau saya harus mati ditembak, ya saya akan mati tertembak. Tapi kalau takdir saya tidak mati tertembak, biarpun ditembak berkali-kali, Insya Allah saya tidak akan mati,” ujar Rizal Ramli yang kini ikut didorong oleh akademisi dan aktivis pergerakan untuk maju sebagai calon presiden, mengutip pernyataan Soekarno.