Wednesday, 20 November 2013

(Patut Diduga) SBY Koruptor. Apa Bedanya dengan Soeharto?

(AMS, opini)
DI mana-mana, korupsi (nyolong dan merampok uang rakyat) memang adalah perbuatan yang sangat terkutuk dan tercela,  karena sudah pasti hasil korupsi itu adalah bernilai HARAM.

Pemimpin atau pejabat yang gemar melakukan korupsi tidak hanya membuat negara jadi rusak, tetapi juga para pegiat korupsi itu sendiri. Katakanlah bisa terhindar dari jeratan hukum di dunia, tetapi yakinlah kalian tidak akan mungkin bisa lepas dari cengkeraman hukum di depan Sang Maha Pencipta lagi Maha Kuasa.

Sehingga itu, janganlah coba-coba ingin jadi pemimpin negara atau pejabat jika hanya tergiur melakukan korupsi. Jika itu yang terjadi, maka jabatan yang diemban sebagai pemimpin itu sesungguhnya bukanlah sebuah anugerah, tetapi malah akan menjadi musibah buat banyak orang dan juga menjadi malapetaka bagi diri sendiri.

Dan boleh jadi, kekacauan sebagai musibah atau pun malapetaka yang timbul secara bertubi-tubi yang mewarnai kehidupan di negeri ini saat ini, itu adalah akibat karena pemimpin di negeri kita adalah koruptor dan seorang pembohong besar.

Lihat saja, era Reformasi yang dibanggakan hingga detik ini ternyata hanya melahirkan koruptor-koruptor yang malah lebih kejam daripada koruptor di era Orde Baru (Orba). Gaya korupsi di zaman pemerintahan Soeharto masih lebih bisa disebut “beradab dan bermartabat” dibanding modus korupsi pemerintahan SBY yang amat licik karena dilakukan dengan cara “terima setoran” (baca sumber). Artinya, Indonesia memang berhasil keluar dari mulut anjing, tetapi masuk ke mulut Serigala Buas Yaaa...??

Jika demikian, era Reformasi saat ini harus segera ditumbangkan. Jika tidak, maka negara kitalah yang akan tumbang dan habis dilahap oleh para koruptor...!!!!! Ini fakta, bukankah negara kita saat ini sudah dikuasai dan bahkan diinjak-injak seenaknya oleh negara asing. Siapa yang membuat dan memberi kesempatan semua itu terjadi...???

Sungguh, setelah selama Reformasi bergulir, Bangsa ini ternyata belum bisa melepaskan diri dari KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme). Bahkan penyakit ini, malah semakin parah dan menjadi-jadi. Para pegiatnya adalah termasuk presiden (patut diduga) bersama gerombolannya, yakni menteri-menteri, anggota-anggota DPR; pejabat-pejabat tinggi, misalnya hakim mahkamah konstitusi, pengadilan, jaksa-jaksa, polisi-polisi, dan bahkan para sanak keluarga serta kroni penguasa dinasti. Demikian yang diungkapkan oleh mantan aktivis ITB, Ir.Abdulrachim Kresno, seperti dilansir voaislam.

Lalu apa bedanya dengan pemerintahan Soeharto? Mari kita simak penjelasan dari Rizal Ramli sebagai sosok mantan aktivis yang pernah dipenjara semasa mahasiswa karena menentang pemerintahan korup Soeharto di masa Orba.

Sebagaimana dilansir sorotnews, Rizal Ramli yang pernah menjabat sebagai Menko Perekonomian di era Presiden KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menyebutkan, berbeda model atau pola kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN) yang dilakukan oleh Presiden Soeharto dengan yang dilakukan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Menurutnya, kalau Soeharto masih ada nilai positifnya, yakni nilai tambah dengan membuka lapangan kerja, pemberdayaan pembangunan pertanian (masih ingat “Kelompencapir”?). Tapi sebaliknya, SBY sama sekali tanpa nilai tambah.

“Ada perbedaan fundamental pola KKN yang dilakukan oleh Soeharto dan SBY. Kalau Soeharto dengan memberi berbagai fasilitas, proteksi, tarif, kredit, dan membangun berbagai jenis industri sekaligus memilki nilai tambah dengan membuka lapangan kerja,” ungkap Rizal Ramli pada wartawan di  Jakarta, Selasa (19/11/2013).

Kroni Soeharto di masa lampau bisa membangun berbagai jenis industri seperti otomotif, mie instan, tepung, perkebunan, pertambangan dan lainnya, meski tidak sehebat Jepang. Tapi, Indonesia yang menjadi pasar otomotif terbesar dunia ini sampai hari ini belum ada kemauan untuk membangun industri yang mandiri.

Sementara itu, lanjut Rizal, yang dilakukan oleh SBY saat ini adalah dengan menggunakan pola percaloan. “Tak ada nilai tambah perekonomian untuk rakyat dan negara. Karena itu muncul nama-nama seperti Sengman, Bunda Puteri, dan lain-lain yang tidak jelas, dan mereka itu menikmati uang negara,” ujar Rizal.

Menurut Ketua Umum Kadin ini, ada tiga cara mudah untuk mendapatkan uang politik yang besar penguasa negara ini. Yaitu (pertama), dari impor pangan. Kedua, pengelolaan minyak dan gas (perdagangan, trading, lisensi-perizinan, distribusi dan lain-lain. Dan ketiga, melalui perampokan bank. Seperti terjadinya skandal Bank Century, Bank Bali dan semacamnya.

Sehingga itu, tak salah jika Rizal Ramli yang juga selaku Ketua Aliansi Rakyat untuk Perubahan (ARuP) ini menuding pemerintahan SBY yang sedang berjalan ini tidak beres karena menerapkan pola KKN tanpa nilai tambah. “Semoga 2014 menghasilkan pemimpin yang jauh lebih baik, mampu membangkitkan perekonomian negara, dan membangun industri yang mandiri,” pungkas ekonom senior ini.

Berikut ini adalah kesimpulan perbandingan perbedaan KKN yang terjadi di Pemerintahan Soeharto dengan yang berlangsung dalam pemerintahan SBY (referensi dari voaislam) :

I. KKN Soeharto
Meskipun KKN itu haram dan merusak, namun KKN Presiden Soeharto masih bisa melahirkan banyak industri yang sampai sekarang pun berkembang dengan baik. Misalnya industri mobil, motor, semen, material bangunan, properti, sampai pabrik mie instan. Semuanya itu tentu menimbulkan pertumbuhan ekonomi serta lapangan kerja yang tinggi, memberikan kesejahteraan untuk rakyat serta lebih merata dan sebagainya.

Juga, meski melakukan KKN, namun pemerintahan Soeharto masih mampu menggairahkan pembangunan pertanian dan perikanan (kelautan), salah satunya dengan aktifnya digelar Kelompencapir (Kelompok Pendengar, Pembaca, dan Pemirsa) dari desa ke desa.

Tentang keamanan, Soeharto bahkan sangat menjamin rasa aman bagi warga negara. Aparat negara dan hukum (TNI, polisi, hakim, hingga jaksa) sangat takut dan tidak leluasa melakukan korupsi.Coba kalau berani..?!?!  Kalaupun ada yang berani, maka itu dipastikan adalah orang gila.

Di masa Orba (melalui TVRI atau di RRI) sangat jarang sekali terdengar Soeharto mengeluh lalu curhat kepada rakyat, apalagi berbohong. Bahkan di detik-detik keruntuhannya pun, Soeharto masih terlihat tegar meletakkan jabatannya. Sayangnya, apapun alasannya, KKN tetap tidak dibenarkan dilakukan oleh pejabat di negeri ini, apalagi sebagai presiden.

II. KKN SBY
Kalau dibandingkan dengan KKN Presiden SBY (patut diduga) yang telah banyak disebut dalam kesaksian Ridwan Hakim (putra Hilmi Aminuddin Ketua Dewan Syuro PKS) yang dalam kesaksiannya dibawah sumpah al-Quran di depan persidangan Ahmad Fathonah, yang  dengan jelas menyebut nama Bunda Putri maupun Sengman.

Kesaksian Ridwan Hakim beredar di banyak media termasuk media online.  Dan dengan terungkapnya hal-hal tersebut, maka pola KKN-nya SBY boleh jadi adalah dengan menerima setoran saja. Dalam hal ini SBY hanya tahu beres saja, pundi-pundinya pun akan diisi oleh para “gerombolannya”.

Parahnya, KKN saat ini tidak diikuti dengan nilai tambah berupa pembangun industri, menumbuhkan ekonomi, memberikan lapangan pekerjaan. Malah sebaliknya, yakni ekonomi bangsa dan negara makin dibuat sangat susah, yakni dengan menaikkan harga BBM, membuat harga-harga kebutuhan hidup rakyat makin mencekik, keberadaan usaha tahu dan tempe pun makin terjepit akibat kedelai yang sangat mahal dan langka, termasuk harga daging menjadi sangat mahal 95-120 ribu rupiah/kg (dua kali harga daging di Malaysia dan negara-negara lain, dan hingga kini tak mampu diturunkan meski sudah impor sapi dari Australia), serta seterusnya dan lain sebagainya.

Tentang pengakuan dan kesaksian Ridwan Hakim disusul oleh LHI itu sangat berbeda dengan bantahan SBY yang dilakukan secara murka dengan melontarkan bahwa “semua itu adalah 1000 persen-2000 persen bohong” dalam konferensi Pers di Halim Perdana Kusuma. Yakni, tidak di bawah sumpah al-Quran, tidak ada deliknya di KUHP.

Dari situ, publik malah balik “menuding”, bahwa SBY-lah yang patut diduga berbohong. Betapa SBY berkali-kali bohong dengan keterangannya sendiri, misalnya pernah menyatakan tidak kenal dengan Ayin, ternyata kemudian beredar foto di online, SBY mendatangi pesta perkawinan anak Ayin. SBY melalui Juru bicaranya Julian Pasha juga mengaku tidak kenal dengan Sengman, namun tak seberapa lama mengaku juga.

Lagi pula bantahan SBY di Halim Perdanakusuma bahwa tidak kenal itu kan hanya ke bunda putri (Non Saputri/B1),tapi tidak pernah membantah bahwa tidak kenal dengan Sylvia S (bu Pur) yang belakangan dikenal sebagai bunda putri 2, yang hubungannya amat dekat dengan Cikeas, terlibat dengan proyek Hambalang dan pernah diperiksa KPK, dan konon sekarang malah raib entah lari ke mana.

1. Para Menteri pembantu SBY dan MK Melegalkan Perampokan BUMN
Menteri BUMN Dahlan Iskan dan Menteri Keuangan, Chatib Basri, layak dicurigai telah merestui pelepasan aset BUMN dari negara karena mereka berdua tidak bergeming atas permohonan uji materi UU Keuangan Negara dan BPK ke Mahkamah Konstitusi. Jika aset BUMN lepas dari Negara, maka BPK tidak lagi bisa mengaudit aliran dana mereka, dan hal ini ditenggarai beberapa pihak bisa menjadi “ATM” partai politik pada Pemilu 2014.

“Jangan-jangan menteri BUMN dan menteri keuangan itu merestui permohonan uji materi ke MK, sebab tidak ada upaya tegas melawan gugatan yang berpotensi privatisasi BUMN itu,” kata peneliti hukum Indonesia Corruption Watch (ICW), Donal Fariz, di Jakarta, Minggu (17/11/2013).

Dugaan tersebut menguat saat salah satu pemohon gugatan uji materi itu dari Forum BUMN dan Biro Hukum Kementerian BUMN. Padahal, menurut Fariz, jika aset BUMN terpisah dari aset negara, maka timbul sejumlah risiko yang mengkuatirkan bagi negara.

“Kalau (permohonan) itu dikabulkan, kami kuatir akan menjadi ‘angin surga’ bagi praktik pembajakan dan perampokan BUMN. Kalau MK mengabulkan, maka MK melegalkan perampokan BUMN seperti layaknya politisi,” kata dia.

2. Politisi dan Polisi Masih Setor ke Atasannya
Ketua KPK Abraham Samad mengungkapkan, bahwa masih ada aparat polisi di Indonesia yang ingin bekerja dengan jujur. Namun ia mengaku hal itu sulit dilakukan karena menurut pengakuan para polisi tersebut, lingkungan kerja di kepolisian membuat mereka sulit untuk hidup jujur.

“Jawaban mayor sampai kolonel yang saya temui, mereka bilang nurani mau jadi polisi baik, tapi susah kalau ditarget oleh atasan untuk setor setiap bulan. Saya tidak setuju kalau dibilang cuma 3 polisi yang jujur, polisi Hoegeng, patung polisi dan polisi tidur. Masih banyak polisi baik, ironisnya mereka hanya ditempatkan di diklat,” kata Abraham.

Abraham meminta agar Sutarman menempatkan para polisi yang berhati nurani jujur di tempat yang memiliki fungsi penindakan agar masyarakat terus memberikan kritik dan mengevaluasi kinerja kepolisian agar kepolisian bisa berubah.

Begitu pun dengan sepak-terjang sebagian besar politisi yang duduk sebagai anggota legislatif, yang umumnya sudah terang-terangan melakukan “perburuan” proyek ke sejumlah kementerian. Di daerah-daerah pun demikian, tidak sedikit anggota DPRD yang tidak punya malu dengan leluasanya memburu proyek-proyek ke sejumlah SKPD. Proyek-proyek tersebut bisa dikerjakannya sendiri melalui perusahaan milik keluarga atau kelompoknya, dan juga tak jarang menjadi perantara proyek untuk diberikan kepada pihak lain karena harapan mendapatkan fee, namun tetap sejumlah nilai lainnya akan disetor ke “atasan”.

Terlepas dari semua uraian tersebut di atas, tentunya yang menjadi pandangan dan prinsip rakyat sejak dulu hingga kini adalah sangat tidak terpujinya jika seorang kepala negara tega melakukan korupsi (mencuri dan merampok, lalu melahap uang rakyat).

Karena apapun alasannya, KKN yang dilakukan oleh pejabat tinggi negara (apalagi presiden) hanya menjadi malapetaka dan musibah terbesar buat negeri ini. Akibatnya, negara hancur karena dipenuhi oleh koruptor bermoral “tikus” dan rakyat yang bermentalkan “kucing”. Namun semoga “kucing” bisa kembali kepada watak aslinya, yakni dengan segera menerkam dan memangsa “tikus-tikus” pelahap uang rakyat tersebut.

-------


Merdeka... dan Salam Perubahan...!!!