(AMS, opini)
INILAH sejarah baru dalam dunia hukum yang sudah pasti jauh dari rasa dan wujud keadilan. Yakni, Mahkamah Konstitusi (MK) dalam persidangan sengketa Pilkada Jatim memutuskan perkara dengan jumlah Hakim 8 orang (genap). Padahal di belahan dunia manapun, jumlah hakim dalam memutuskan sebuah perkara harus berjumlah ganjil, atau sekurang-kurangnya 3 orang.
Kita memang tahu bersama, bahwa saat ini Hakim MK berkurang 1 orang, yakni Ketua MK Akil Mochtar (AM) telah tertangkap tangan menerima uang yang diduga itu sebagai suap. Tetapi itu tidak menjadi alasan untuk serta-merta mengikutkan semua hakim yang masih tersisa. Artinya, dalam setiap acara persidangan, MK tidak mesti mengikutkan semua (8 orang) hakim. Sebab, dengan jumlah genap, putusan bisa dinilai tidak memenuhi rasa dan wujud keadilan.
Jika kondisi itu tetap dipaksakan dengan mengikutkan semua (8 hakim MK), maka patut diduga, bahwa MK boleh jadi memang sudah dipenuhi dengan orang-orang yang tidak kredibel, dan telah ditunggangi oleh kepentingan politik tertentu. Jika demikian, maka hukum di negara kita sedang disandera oleh kekuasaan pihak-pihak tertentu.
Dugaan seperti ini memang tidaklah keliru. Sebab, sejumlah Hakim MK memang berpotensi untuk diintervensi oleh pihak-pihak tertentu. Tengok saja, bahwa dalam menjalankan tugas dan fungsinya, MK mempunyai 9 orang Hakim Konstitusi, yakni sebagaimana ditentukan dalam Pasal 24C ayat (3) UUD 1945 (hasil amandemen ke-4), yang menyebutkan:
“Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden.”
Dari pasal tersebut bisa jelas menunjukkan, bahwa MK sangatlah memungkinkan untuk diintervensi oleh DPR dan bahkan oleh Presiden. Apalagi jika dihubungkan dengan kondisi dan situasi politik yang akhir-akhir ini nampaknya kurang menguntungkan pihak parpol penguasa.
Tertangkapnya AM, ditambah dengan kondisi yang kurang menguntungkan oleh parpol penguasa inilah yang boleh jadi coba “dimanfaatkan” oleh sejumlah Hakim MK untuk dapat “meraih” simpatik dari DPR atau bahkan Presiden. Yakni dengan, misalnya tanpa suap pun, MK bisa memutuskan perkara sengketa Pemilukada Jatim yang tetap memenangkan pasangan Karsa. Tetapi, keputusan ini justru boleh jadi merupakan “kejahatan konstitusi” yang lebih “parah” daripada perbuatan AM.
Sebab, dengan ditolaknya gugatan sengketa Pilkada Jatim yang diajukan oleh pasangan Khofifah Indar Parawansa-Herman Sumawiredja pada sidang putusan di MK, Jakarta, Senin (7/10) itu, setidaknya bisa membuat “SENANG” partai penguasa atas apa yang telah diputuskan oleh 8 Hakim MK tersebut. Mengapa? Karena, pasangan Karsa didukung oleh seluruh parpol (minus PKB dan PDIP) yang bercokol di senayan.
Dalam putusan tentang Pemilukada Jatim itu, MK nampaknya tidak menengok dan mencermati bagaima “besarnya upaya” dari pihak Karsa yang dari awal sudah melakukan praktek “penghambatan” terhadap pasangan Khofifah yang diusung oleh PKB tersebut. DKPP bahkan telah memberi sanksi kepada KPUD Jatim atas pleno yang tidak meloloskan pasangan Khofifah, lalu DKPP memerintahkan agar pasangan Khofifah segera disahkan pula sebagai peserta Pemilukada Jatim. Sesungguhnya, historis upaya “pencekalan” inilah yang harusnya digali oleh MK guna memunculkan keadilan.
Sehingganya, tak salah jika Rizal Ramli sebagai Tokoh oposisi Ketua Pergerakan Arus Perubahan menilai ada beberapa kejanggalan pada putusan Mahkamah Konstusi (MK) yang menolak gugatan hasil pilkada Provinsi Jawa Timur tersebut.
Rizal Ramli melihat kejanggalan tersebut antara lain, majelis hakim pada persidangan tersebut berjumlah delapan orang, padahal seharusnya berjumlah ganjil. Sebab, katanya, di negara mana pun di dunia majelis hakim selalu jumlahnya ganjil, tidak ada yang genap.
Kejanggalan lainnya, kata dia, majelis hakim hanya mendengarkan keterangan saksi-saksi dari tergugat dan banyak mengabaikan keterangan saksi-saksi penggugat.
“Karena itu saya mencurigai ada kompromi antara hakim konstitusi dan tergugat,” katanya. Seperti dilansir antaranews.
Anggota Tim Kuasa Hukum penggugat pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa dan Herman Suryadi Sumawiredja, yakni Juli Edy menilai, Majelis Hakim Konsitusi pada persidangan putusan tidak memberikan pertimbangan yang cukup terhadap bukti-bukti dan saksi-saksi, termasuk saksi ahli dan pemohon.
Juli Edy juga menilai, Majelis Hakim Konstitusi terkesan menggampangkan membuat kesimpulan bahwa dalil pemohon tidak beralasan menurut hukum, tanpa mengurai dan atau mempertimbangkan bukti-bukti dan saksi dari pemohon.
Sementara itu, calon Gubernur Jatim yang mengajukan gugatan sengketa pilkada ke MK, Khofifah Indar Parawansa menilai, pada amar putusan yang dibacakan oleh Majelis Hakim Konstitusi lebih berpihak kepada tergugat.
Hal ini, kata dia, terlihat dari uraian yang dibacakan Majelis Hakim hanya menyampaikan pernyataan saksi-saksi dari pihak tergugat dan tidak menyampaikan pernyataan saksi-saksi dari pihak penggugat.
Sehingga putusan MK ini pun memperkuat kemenangan pasangan Soekarwo-Saifullah Yusuf (Karsa) yang didukung oleh 10 partai parlemen di Jatim, yakni Partai Demokrat, Golkar, PAN, PKS, Gerindra, Hanura, PPP, PKNU, PDS, dan PBR. Serta 20 partai nonparlemen. Dan “kekuatan” para parpol inilah yang boleh jadi sulit dihadapi oleh MK saat ini.
Tanpa diperjelas secara gamblang pun, dengan melihat kekuatan parpol seperti itu, maka nampaknya memang sangat sulit bagi MK untuk memberanikan diri memunculkan putusan menerima gugatan pasangan Khofifah, meskipun sekiranya pasangan ini benar-benar jelas-jelas dicurangi secara politik. Sebab, apabila MK menerima gugatan Khofifah, maka dipastikan MK telah “menyakiti hati” para parpol pendukung Karsa tersebut. Padahal, justru dalam kondisi seperti inilah MK seharusnya berkesempatan untuk melakukan “revolusi” di bidang hukum yang berpihak kepada konstitusi atas nama rakyat, bukan atas nama parpol.