Friday, 27 September 2013

Semua Presiden ada “Legacy”, Bagaimana dengan SBY?

(AMS, opini)
SETIAP kepala negara maupun kepala daerah di Indonesia, pasti akan meninggalkan legacy atau warisan yang bisa diingat rakyat sepanjang masa, sekaligus akan menjadi tanda sejarah yang dapat ditunjuk sebagai “kejayaan” dari pemimpin tersebut pada masanya.

Lalu, kira-kira apa legacy yang akan ditinggalkan SBY kepada bangsa Indonesia? Pertanyaan ini tidak hanya sering dilontarkan oleh para ahli dan pengamat sosial dari dalam maupun luar negeri, tetapi masyarakat awam pun acapkali mencari-cari hal “istimewa” seperti apa gerangan yang akan ditinggalkan oleh SBY ketika tidak lagi menjadi presiden?


Pertanyaan ini sangat sulit dijawab, karena pencitraan yang jadi model SBY tidak akan menghasilkan legacy apa-apa. Pencitraan tidak original, karena dinilai penuh topeng (kepalsuan) dan lipstik rekayasa. Sehingga, sampai detik ini pun belum ada yang bisa ditunjuk sebagai legacy untuk rakyat dari 10 tahun SBY berkuasa, kecuali defisit keuangan dan hutang negara yang amat besar.

Apakah SBY mampu mempersembahkan legacy, atau paling tidak mengatasi masalah ekonomi yang merosot saat ini?

Menurut saya itu sangat kecil kemungkinannya bisa dilakukan oleh SBY. Sebab, jika dihubungkan dengan begitu banyaknya persoalan negara yang belum teratasi, dengan sisa  waktu masa jabatannya selaku presiden yang sudah hampir tamat, maka sangat sulit bagi SBY untuk “mencatat sejarah” sebagai presiden yang berprestasi gemilang.

Keraguan saya ini dapat kita lihat bersama, bahwa betapa saat ini SBY lebih berkonsentrasi kepada kepentingan partainya daripada bergegas mengatasi masalah negara. Maklum, Pemilu 2014 sebentar lagi akan digelar. Jadi bisa dipastikan, waktu dan pikiran SBY akan lebih banyak tersedot kepada urusan politik daripada mengatasi masalah ekonomi atau menuntaskan persoalan korupsi.

Dalam konteks perkembangan demokrasi, jejak legacy SBY juga tidak ada. Saya setuju, jika kemudian Tokoh Pergerakan Perubahan, Rizal Ramli, menilai SBY telah membiarkan demokrasi prosedural menjadi demokrasi kriminal. Bahkan membiarkan menteri dan kader-kader partai binaannya menjadi pelaku utama korupsi di Indonesia.

Dari segi perlindungan terhadap manusia dan hak-hak minoritas juga sama. Rizal Ramli memandang Pemerintah SBY nampak menutup mata terhadap berbagai pelanggaran hak-hak warga negara dan minoritas.

Dengan prestasi seperti itu, wajar saja jika Rizal Ramli beserta para ahli kuatir, bahwa boleh jadi puluhan tahun ke depan SBY hanya dianggap sebagai footnote (catatan kaki) dalam sejarah Indonesia. “Sayang sekali kalau Mas Bambang (SBY) hanya jadi sekadar catatan kaki dalam sejarah Indonesia,” lontar Rizal Ramli.

Untuk itu sebagai kawan lama sekaligus selaku anak bangsa, Rizal Ramli merasa perlu mengingatkan SBY untuk segera memanfaat sisa waktu (sebelum Pemilu 2014) agar melakukan langkah-langkah signifikan.

Namun jika SBY hanya terus-terus lebih larut dalam urusan partainya hingga Pemilu 2014, lalu melupakan janji-janjinya kepada rakyat, maka saya pun bisa ikut menilai bahwa SBY hanyalah sosok yang gila kekuasaan tetapi sesungguhnya tak mampu menjadi presiden. Padahal rakyat sudah memberikannya kesempatan dua periode berkuasa, tetapi sekali lagi, hingga saat ini belum ada legacy dari SBY untuk rakyat.

Jika hingga berakhir masa jabatannya, SBY toh tetap tidak mampu mempersembahkan legacy atau sesuatu yang dianggap “istimewa” yang setidaknya bisa dipandang bermanfaat buat rakyat, maka tak salah jika kemudian rakyat yang memilihnya sampai 2 pilpres berturut-turut kemarin harus menanggung kekecewaan, dan merasa dibohongi.

Rizal Ramli pun mengurai kembali, setiap Presiden Indonesia meninggalkan legacy atau warisan yang diingat rakyat. Presiden RI pertama, Soekarno, dikenal sebagai proklamator dan pendobrak sekaligus pembebas Indonesia dari kolonialisme. Soekarno juga meninggalkan warisan Pancasila sebagai pegangan ideologis berbangsa dan bernegara.

Presiden RI kedua, Soeharto, meski melakukan banyak pelanggaran HAM, berlaku otoriter dan tidak demokratis, tetapi dikenal sebagai Bapak Pembangunan. Sementara presiden berikutnya, BJ Habibie, memanfaatkan gelombang reformasi untuk memantapkan demokrasi dan memulai sejarah kebebasan pers di Indonesia.

Adapun Gus Dur, dalam masa jabatannya yang meski pendek, tetapi meninggalkan legacy pluralisme dan humanisme. Sedangkan pengganti Gus Dur, yakni Megawati Soekarnoputri, terkenal sebagai presiden perempuan pertama di Indonesia yang tak henti-hentinya melakukan perjuangan dalam menegakkan demokrasi di tanah air.

Rizal Ramli memaparkan semua hal tersebut di atas saat tampil sebagai pembicara dalam Seminar Kebangsaan bertajuk: “Mengembalikan Ruh Bangsa yang Berdikari dan Tidak Lupa Sejarah untuk Indonesia Baru”, di Kampus UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta (Kamis, 26/9).