(AMS, reportase)
- MELEMAHNYA nilai rupiah;
- Melambungnya harga pangan kebutuhan pokok rakyat;
- “Hilangnya” 5 juta Rumah Tangga Pertanian dalam 10 tahun;
- Sulitnya nelayan kecil berkembang;
- Pedihnya nasib TKI/TKW yang berpisah dari sanak-saudaranya;
- Teganya sejumlah ibu membuang bayinya yang baru dilahirkannya; SERTA
- Sempat meledaknya bom di beberapa wilayah;
- Tertembaknya sejumlah aparat kepolisian (Jadi target teroris);
- Gampangnya terjadi aksi penyerangan di Lapas;
- Terjadinya saling bentrok sesama aparat TNI/Polri;
- Munculnya aksi perampokan bersenjata;
- Mudahnya terjadi konflik antarsuku dan agama di beberapa daerah;
- Ganasnya tawuran antarkelompok masyarakat, juga anak sekolah
- dan lain sebagainya
Adalah beberapa contoh nyata dari kondisi Indonesia “terkini“, atau paling tidak telah terjadi selama kurun waktu 9 tahun lebih. Dan jangan bilang, bahwa semua kejadian tersebut di atas adalah terjadi begitu saja tanpa SEBAB..?! Dan jangan katakan, bahwa semua fenomena riil tersebut di atas adalah sebuah konsekuensi logis dari sebuah dinamisasi perjalan zaman yang mengglobal. Jika hal ini yang terlintas di benak, maka itu namanya PEMBIARAN.
Saya sangat sepakat dengan tema yang ditampilkan oleh Jakarta Tivi (JakTV) dalam program dialog: Experience with OSO, pada Senin (9/9/2013). Yakni: “Mengatasi Ancaman Keamanan yang Merugikan Perekonomian”.
Dari tema itu, JakTV secara tidak langsung seakan-akan ingin menegaskan, bahwa sesungguhnya saat ini telah terjadi pula “DEFISIT” terhadap Kemakmuran dan Keamanan di negeri ini.
Artinya, dengan memperhatikan rentetan kejadian seperti tersebut di atas, maka itu tentunya menunjukkan bahwa rakyat kita saat ini sesungguhnya masih amat berkekurangan, bahkan sangat jauh dari istilah KEMAKMURAN. Dan ini saya sebut sebagai “defisit” Kemakmuran, yakni kondisi dari sebuah ekonomi rakyat yang telah “terluka” dan menganga.
Sungguh, rakyat kita masih banyak yang miskin, dan sudah sangat lama menjerit kesakitan karena menahan himpitan dan beban ekonomi yang berat dan menusuk. Mengapa pemerintah hanya bisa bermain angka-angka tanpa bergegas melakukan tindakan yang sangat dinanti-nantikan oleh rakyat kita? BLSM bukan tindakan, karena BLSM bukanlah solusi yang bisa menyembuhkan “luka” himpitan ekonomi mereka yang telah menahun itu.
Nelayan butuh kail, butuh perahu, butuh jaring dan butuh BBM untuk melaut. Petani butuh lahan, butuh bibit unggul, butuh pupuk, dan butuh hand-tractor,- lalu mengapa mereka diberi BLSM? Apakah cuma begini kemampuan pemerintah menyikapi dan “mengobati” luka rakyat miskin yang telah lama terhimpit beban ekonomi?
BLSM justru hanya membuat “defisit kemakmuran” makin lebar dan luas. Sehingga maaf, saya bahkan tidak melihat adanya niat baik dari pemerintah di balik pemberian BLSM itu. Kenapa? Silakan disaksikan sendiri, berapa banyak rakyat penerima BLSM yang harus KEHABISAN WAKTUNYA mengantri berjam-jam hanya untuk mendapatkan Rp.150 ribu? Mengantrinya malah lebih lama daripada menghabiskan uang yang baru diterimanya itu. Ini belum termasuk dengan dampak lainnya, seperti motivasi mereka untuk bangkit tiba-tiba rontok seketika karena dipaksa kembali untuk berada di garis kemiskinan melalui pemberian BLSM.
Saya teringat ketika meliput acara Dialektika Demokrasi yang bertema: “BLSM untuk Kepentingan Rakyat atau Parpol?” di Press-room DPR Senayan, Kamis (16/5/2013). Di sana untuk pertama kalinya Rizal Ramli yang menyebut BLSM adalah ibarat Balsem yang hanya sebagai penghangat sementara, tetapi penyakitnya tetap tak bisa hilang.
Dari kondisi masalah seperti itu juga menunjukkan, bahwa Indonesia memang mengalami “defisit” Kemakmuran yang harus segera diatasi oleh pemerintah. Jika tidak, maka akan dikuatirkan akan menyusul “defisit” keamanan.
Sebetulnya, saat ini defisit keamanan juga telah terlihat dan sudah terasa. Yakni dengan sempatnya terjadi beberapa kali ledakan bom di sejumlah wilayah, pertumpahan darah akibat konflik antarkelompok dan suku (misalnya di Papua dan di beberapa daerah lainnya). Juga dengan aksi brutal penembakan yang mengakibatkan tewasnya sejumlah polisi dalam waktu yang tidak bersamaan. Dan apa makna dari semua itu???
Peristiwa penembakan sejumlah polisi tersebut, tentu saja memunculkan rasa tidak aman di tengah-tengah masyarakat, bahwa polisi saja sebagai aparat keamanan malah menjadi korban yang boleh jadi karena defisit kemakmuran. Dan menurut saya, ini tentu merupakan akibat kelalaian pemerintah yang tak mampu menjamin keamanan warganya, termasuk polisi sekali pun. Pemerintah harus introspeksi diri dan segera secepatnya bertindak mengatasi defisit-defisit yang terjadi di negeri ini..!!!
Jangan memandang remeh kritik dan saran dari Rizal Ramli sebagai Ekonom Senior yang pernah tak dipercaya dalam meramal krisis tahun 1998. Dan kini Rizal Ramli kembali kuatir adanya gejala krisis dengan menunjuk Quarto-Defisit sebagai dasar terjadinya “defisit” Kemakmuran dan Keamanan. Yakni Rizal Ramli berkali-kali tanpa lelah berteriak agar pemerintah segera mengatasi quarto-defisit tersebut.
“Yakni defisit transaksi perdagangan. Biasanya kita surplus 32 Miliar Dolar AS, 26 Miliar Dolar AS. Tetapi tahun ini kita minus 6 Miliar Dolar AS, termasuk akibat serbuan barang-barang impor,” ujar Rizal Ramli dalam acara dialog: Experience with OSO, di JakTV, yang turut dihadiri pula Panglima Jenderal TNI Moeldoko dan Ketua PBNU KH. Said Agil Siraj, sebagai narasumber , Senin (9/9/2013).
Juga, kata Rizal Ramli, ada defisit transaksi berjalan (current-account). Defisit ini belum pernah terjadi sejelek ini sejak tahun 1998, yakni besarnya mencapai minus 9,8 Miliar Dolar AS. Disusul defisit Neraca Pembayaran (minus) 6,6 Miliar Dolar AS.
Kemudian ini, katanya, diperparah lagi dengan pada kuartal terakhir ini terdapat utang swasta yang jatuh tempo sebesar 27 Miliar Dolar AS. “Itulah yang menjelaskan kenapa Rupiah anjlok. Dan pemerintah harus segera mengambil langkah-langkah tepat seperti capital-control yang pernah dilakukan oleh Mahatir Muhammad yang membuat Malaysia tidak terluka sedikitpun akibat krisis tahun 1998,” ujar Rizal Ramli.
Jika pemerintah tidak segera mengambil langkah-langkah tepat, maka Rizal Ramli amat kuatir dengan kondisi ekonomi yang telah berada di lampu kuning saat ini akan berubah mengarah ke lampu merah. “Yang berbahaya buat kita adalah kalau lampu kuning jadi lampu merah. Terutama kalau itu menyangkut nasib rakyat banyak. Saya pernah berkali-kali katakan dolar mau gonjang-ganjing naik, mungkin yang kena cuma sebagian. Tapi kalau harga pangan, akibatnya menjadi sangat tinggi. Itu nanti limbahnya akan jadi tanggungjawab Pangab TNI,” katanya.
Rizal Ramli yang kini mendapat “aliran” aspirasi dari banyak kalangan untuk juga maju dalam Pilpres 2014 ini mengungkapkan, bahwa security (keamanan) dan prosperity (kemakmuran) itu seperti satu koin dengan dua mata sisi. Kalau tidak ada security, tidak mungkin ada prosperity. Tapi kalau tidak ada prosperity, maka itu akhirnya akan jadi masalah di dalam bidang security,” jelas Rizal Ramli di acara yang dipandu oleh Oesman Sapta tersebut.