Thursday, 5 September 2013

“Bisul Nakhoda” Itu Makin Parah? Jangan Diabaikan!


(AMS, opini)
KONDISI negeri ini sesungguhnya sudah parah dan saat ini malah sedang menuju ke titik yang lebih sangat parah lagi.  Mulai dari masalah Pengelolaan ekonomi (nilai Rupiah yang melemah) dan keuangan negara yang mengalami defisit. Seperti yang diungkapkan berkali-kali oleh mantan Menko Perekonomian Rizal Ramli, bahwa saat ini negara sedang mengalami defisit quatro yang meliputi:
1. Defisit Neraca Perdagangan (minus) 6 Miliar Dolar AS;
2. Defisit Neraca Berjalan (minus) 9,8 Miliar Dolar AS;
3. Defisit Neraca Pembayaran (minus) 6,6 Miliar Dolar AS.


Dan juga dengan masalah utang luar negeri yang sangat membebani Indonesia, yakni mencapai sekitar Rp.2.100 Triliun. Hingga kepada masalah korupsi yang terus pula dilakukan oleh para pejabat beserta para kroninya.

Masalah-masalah tersebut adalah bukti yang sangat jelas-jelas menunjukkan, bahwa negeri kita saat ini ibarat “Kapal Perahu” yang sedang berlayar. Kelihatan memang sangat tenang berjalan, tetapi sesungguhnya perahu ini sedang menuju suatu lubang pusaran yang mengerikan dan bahkan amat mengerikan.

Khusus masalah korupsi. Sejauh ini sudah sangat jelas pula memperlihatkan, bahwa Presiden SBY sangat “patut dikasihani” karena diduga kuat sedang mengalami “bisul”. Gejala bisul ini sudah nampak sekali menonjol, meski tertutupi dengan “kain tebal”.

Coba deh.. dibayangkan ketika seseorang mengalami bisul yang sudah amat lebar “membiru” dan bernanah (baunya pun sudah tercium), sementara orang yang terkena bisul ini juga diam-diam saja. Tentu ini dikuatirkan bisa berakibat fatal karena dapat menjalar ke sekujur tubuhnya. Apakah kita tak merasa kasihan? Sehingga itu, sangat tak pantas jika “bisul” itu didiamkan. Harus segera mengambil langkah “penyelamatan”…!!!

Ya.., nama SBY saat ini sudah beberapa kali sempat disebut-sebut dalam persidangan korupsi. Banyak pihak yang kini mulai menyoroti ini. Selain Rizal Ramli sebagai tokoh oposisi yang giat menyerukan perang terhadap koruptor, sejumlah LSM juga kini ikut mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk segera melakukan penyelidikan yang mendalam soal keterkaitan Presiden SBY dengan beberapa kasus mega korupsi di tanah air.

Misalnya, dalam kasus dugaan korupsi impor beras pada Perum Bulog, impor Migas Pertamina, jual beli minyak mentah Petral, impor daging sapi, suap SKK Migas, dan kasus korupsi proyek Hambalang.

“Nama orang-orang dekat dan bahkan Presiden SBY sendiri sudah sering disebut-sebut terkait dengan berbagai kasus mega korupsi. Ini bukan lagi sekadar rumor, tapi fakta persidangan yang harus segera didalami oleh KPK,” demikian penegasan Koordinator Barisan Rakyat Anti Korupsi (Barak), Danil’s, Selasa (3/9/2013), melalui beritabarak.blogspot.com.

Dari berbagai kasus dugaan korupsi tersebut, kata Danil’s, ada potensi kerugian negara hingga puluhan triliun rupiah. “Ini bukan saja persoalan korupsi, tapi sudah menyangkut martabat dan kedaulatan negara. Dimana nama seorang kepala negara disebut-sebut dalam persidangan korupsi,” lontarnya.

Karenanya, Danil’s berharap, KPK harus segera mendalami fakta yang mengemuka dalam persidangan. “KPK jangan berlindung di balik kalimat ‘dua alat bukti’, tapi panggil Sengman dan orang-orang yang diungkap Ridwan Hakim dalam persidangan, kemarin. Konfrontir pernyataan Ridwan itu dengan semua pihak yang disebutkannya. Kami jamin KPK didukung penuh oleh rakyat, jadi tidak perlu takut menggaruk semua pihak yang terlibat dalam berbagai kasus mega korupsi. Sekalipun yang terlibat itu adalah Presiden SBY,” tandasnya.

Senada dengan itu, pengamat politik The Indonesian Reform, Martimus Amin, menilai borok Presiden SBY sudah semakin tajam tercium. Juga sebuah LSM yang mengatasnamakan diri Gerakan Aliansi Laskar Anti Korupsi (Galak) pun menyatakan setuju jika KPK segera mengamputasi “borok” (bisul) Presiden SBY.

Masih menurut beritabarak.blogspot.com. Dari keterkaitan nama SBY dalam kasus Hambalang yang terpapar jelas dalam hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Juga dari kesaksian Ridwan Hakim dalam persidangan yang mengungkapkan nama Sengman, pengusaha utusan Presiden SBY yang menerima uang Rp.40 miliar dari PT.Indoguna Utama, adalah sudah cukup memperlihatkan bahwa SBY diduga kuat memang sedang mengalami “bisul”, dan sepantasnya untuk segera diperiksa.

“Borok Presiden SBY semakin hari semakin parah”, ujar Kepala Staf Investigasi dan Advokasi Galak, Muslim Arbi, mengutip pernyataan Martimus Amin.

Selain itu, beritabarak.blogspot.com juga menulis, bahwa sebuah sumber menyebutkan, pada 23 Mei 2011 pagi sekitar pukul 07.00 WIB, Nazaruddin sudah ada di pendopo ruang tunggu di kediaman Presiden SBY di Puri Cikeas. Menurut sumber yang menyaksikan pertemuan tersebut, Presiden SBY sangat marah, sampai dua kali menggebrak meja.

Gebrakan pertama terjadi setelah Nazaruddin mengatakan, Ibas pernah menerima uang darinya yang diambil dari kas partai, yakni tanggal 29 April 2010 sebesar US$500 ribu.  Pada hari yang sama, Ibas juga menerima kiriman sebesar US$100 ribu.

Lalu gebrakan kedua terjadi hingga menyebabkan meja terpelanting, yakni setelah Nazaruddin menyebutkan Ani Yudhoyono pun menerima uang dari dirinya sebesar US$5 juta, yang berasal dari kas Partai Demokrat, dan itu merupakan pemberian Pertamina (demikian dikutip dari cahayareformasi.com).

Sebagai Koordinator Eksekutif Gerakan Nasionalisasi Migas (GNM), Muslim Arbi juga berharap, agar KPK dapat menelusuri indikasi kejahatan “penggadaian” kekayaan sumber daya alam berupa Migas sepanjang pemerintahan Presiden SBY kepada asing.

Sebab, katanya, GNM mencatat setelah kehadiran SBY di Sidang APEC di Santiago Chili pada 20-21 November 2004, dan sempat melakukan pertemuan dengan Presiden Amerika Serikat George Walker Bush, Blok Cepu dikelola oleh Exxon Mobil asal Amerika Serikat (AS).

Pun ketika Dirut Pertamina, Widya Purnama, gigih dan tegas mengatakan Pertamina mampu mengelola dan menjadi operator Blok Cepu, namun setelah itu pada 08 Maret 2006 dia malah diganti oleh Arie Soemarno. Dan beberapa hari usai persetujuan Blok Cepu dikelola oleh ExxonMobil, Menlu AS, Condoleezza Rice, pada 14 Maret 2006 langsung berkunjung  ke Indonesia.

Dan tentunya, masih banyak lagi yang bisa dijadikan indikasi yang amat jelas, bahwa “Kapal Perahu” yang bernama Indonesia ini memang kelihatannya tenang berjalan, tetapi sesungguhnya perahu ini sedang menuju sebuah lubang pusaran yang sangat mengerikan. Karena “Nakhoda” perahu itu saat ini sangat diduga kuat sedang mengalami “bisul”. Kasihan.., demi keselamatan bersama, terutama bagi seluruh penumpangnya, maka “bisul nakhoda” itu harus segera diperiksa. SEKARANG!!!