(AMS, opini)
SEPANJANG tahun ini, pelemahan nilai tukar rupiah tak kunjung berhenti. Per Selasa kemarin (20/8/2013), nilai Rupiah sudah melemas, kurs tengah Rp.10.557 per-dolar AS. Dan nilai ini diyakini membuat cadangan devisa di Bank Indonesia bisa terus tergerus. Dan kalaupun ada langkah perbaikan neraca perdagangan yang dilakukan namun tak efektif, maka rupiah dipastikan akan terus jeblok terkapar. Sehingga tak salah jika kondisi ekonomi seperti ini dapat segera diwaspadai oleh masyarakat Indonesia.
‘’Hampir bisa dipastikan, tinggal menunggu waktu saja rupiah akan menyentuh pada level Rp.11.000 per dolar AS,” lontar Rizal Ramli selaku tokoh nasional yang namanya telah mendunia selaku Ekonom Senior, Rabu malam (21/8/2013).
Alasannya, kata Rizal, selain karena pasar sangat kecewa terhadap pidato SBY yang sangat tidak realistis dan tidak memberikan jawaban tentang apa yang harus dilakukan agar indikator-indikator ekonomi makro bisa diselesaikan, juga ada beberapa faktor yang membuat posisi rupiah terus anjlok. Antara lain terjadi defisit quatro, yakni neraca perdagangan -6 miliar dolar AS, defisit neraca berjalan -9 miliar dolar AS, defisit neraca pembayaran (N/P) -6,6 miliar dolar AS. Tak heran jika defisit APBN pun makin melebar karena diperparah pula dengan penerimaan pajak semester I 2013 yang tidak sesuai target. ‘’Anjloknya rupiah membuat impor BBM makin tinggi, sehingga membebani APBN,’’ katanya.
Kondisi beban ini, kata Rizal, makin bertambah berat karena ada utang swasta sekitar 27 miliar dolar AS yang jatuh tempo. Dampak anjloknya rupiah ini juga akan merembes ke semua sektor, termasuk kemungkinan naiknya harga kebutuhan pokok masyarakat yang sumbernya lebih banyak berasal dari impor. Sehingga, Menko Perekonomian era Presiden Gus Dur ini memprediksi akan ada ronde kedua kenaikan harga pangan. “Sebelum lebaran kemarin sudah naik. Dan beberapa minggu pasca-lebaran ini bisa naik lagi. Dan tentulah, hal ini benar-benar memukul ekonomi rumah tangga sebagian besar rakyat Indonesia,’’ ujarnya.
Kondisi moneter saat ini, katanya, berbeda dengan situasi ekonomi Indonesia pada 2008. Kala itu, fundamental ekonomi Indonesia sangat bagus yang ditandai dengan kondisi neraca perdagangan dan neraca pembayaran yang sempat surplus, sehingga dampak resesi ekonomi AS tak berpengaruh buat Indonesia kala itu.
Saat ini, lanjut Rizal Ramli, beberapa indikator makro ekonomi juga semakin negatif. “Jika tidak hati-hati, maka bisa meningkatkan ketidakstabilan ekonomi, dan membuat ekonomi kita memasuki lampu merah. Ini masalah serius. Itulah bom waktu dari neoliberalisme era SBY ini,” ujar Rizal Ramli seraya mengaku bingung: bahwa apa saja selama ini yang dilakukan oleh pemerintah? Apakah pemerintah tidak mampu membaca gejala terjadinya pembekakan defisit di dua tahun lalu sehingga sampai hari ini tak jua ada langkah-langkah antisipatif untuk melakukan upaya antisipatif?
Sehingga tak keliru jika seorang Dosen Fisip Universitas Airlangga, Eddy Herry, spontan melakukan “Sebuah Seruan moral untuk Indonesia” (via SMS). “Seruan untuk Indonesia: Kinerja ekonomi Pemerintah, kacau! SELAMATKAN INDONESIA pilih RIZAL RAMLI (Ekonom kelas dunia/Penasehat PBB sebagai NEXT PRESIDEN RI,” demikian isi SMS Eddy Herry yang kini juga selaku Direktur Pusat Kajian Transformasi Sosial (PsaTS) di Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Unair.
Sementara itu, menurut anggota Komisi XI DPR Arif Budimanta, kondisi ekonomi Indonesia yang buruk saat ini merupakan data riil yang menggambarkan kegagalan pemerintah. “Kegagalan menggenjot produktivitas nasional untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri. Pada sisi lain, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih saja bertumpu pada konsumsi,” ujar Arif Budimanta, seperti yang dilansir oleh bisnis kompas.com.