Sunday, 6 January 2013

UU No.8 Tahun 2012: “UU Kebangkitan Kembali Parpol Korup”


(AMS, opini)
SAYA sangat yakin, di otak para anggota DPR-RI yang menyusun materi UU. No. 8 Tahun 2012 itu diawali dengan pemikiran terarah kepada kadar kepentingan kelompoknya saja. Sehingga boleh jadi proses penyusunan materi UU No. 8 Tahun 2012 ini sengaja sebisa mungkin disusun secara saksama dengan berusaha memunculkan materi-materi yang dapat “menyusahkan dan mempersulit” para partai politik yang akan menjadi saingannya kelak.


Paling tidak, materi-materi dalam UU tersebut telah ditakar menurut kemampuan parpol mereka masing-masing untuk dapat kembali muncul sebagai kontestan dalam Pemilu berikutnya, yakni di tahun 2014. Di sinilah sebetulnya letak konspirasi yang dapat diduga dilakukan secara ke dalam oleh para “bandit-bandit” politik yang ingin tetap menguasai negara ini dengan cara-cara kotor bersama koleganya (Parpol baru tapi patut diduga sebagai pecahan dari parpol yang ada di parlemen).

Dan UU itu pun dibuat sedemikian rupa untuk dijadikan sebagai tameng sekaligus senjata guna melumpuhkan lawan-lawan lainnya. Bohong kalau tidak…!!?!! Nyatanya, Mahkamah Konstitusi (MK) sempat mengabulkan sebagian atas uji materi (judicial review) atas UU tersebut karena dianggap sangat jelas untuk menghancurkan parpol non-parlemen.

Kendati MK telah mengabulkan sebagian uji materi UU tersebut, namun tetap saja materi lainnya dirasa amat menyusahkan dan mempersulit bagi para pejuang politik lainnya (parpol non-parlemen yang patut diduga bukan kolega dari parpol yang ada di DPR-RI) yang ingin beradu memperjuangkan nasib rakyat melalui parpol alternatif mereka.

Sekilas, UU No.8 Tahun 2012 ini memang disusun dan disajikan dengan kemasan yang amat rapi, seakan telah memenuhi rasa keadilan dalam memperlakukan seluruh calon parpol peserta pemilu. Namun, “mimik” UU ini masih nampak tidak mencerminkan UUD 1945, karena mengandung aura tekanan “penindasan” baik terhadap parpol kecil lainnya maupun terhadap pencapaian kedaulatan rakyat melalui demokrasi yang didahului dengan kebebasan dan hak dalam memilih partai politik yang diinginkannya, bukan atas dasar dan hasil yang patut disinyalir dari persekongkolan parpol di DPR-RI.

Pada UUD 1945 (amandemen 4). Bab I, pasal 1, ayat 2: Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Artinya, kedaulatan harus berada di tangan rakyat, bukan menurut hitung-hitungan rumus matematika atau ekonomi seperti pada UU No.8 Tahun 2012, Pasal 8, ayat 2 tentang verifikasi parpol yang harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. berstatus badan hukum sesuai dengan Undang-Undang tentang Partai Politik;
b. memiliki kepengurusan di seluruh provinsi;
c. memiliki kepengurusan di 75% (tujuh puluh lima persen) jumlah kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan;
d. memiliki kepengurusan di 50% (lima puluh persen) jumlah kecamatan di kabupaten/kota yang bersangkutan;
e. menyertakan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat;
f. memiliki anggota sekurang-kurangnya 1.000 (seribu) orang atau 1/1.000 (satu per seribu) dari jumlah Penduduk pada kepengurusan partai politik sebagaimana dimaksud pada huruf c yang dibuktikan dengan kepemilikan kartu tanda anggota;
g. mempunyai kantor tetap untuk kepengurusan pada tingkatan pusat, provinsi, dan kabupaten/kota sampai tahapan terakhir Pemilu;
h. mengajukan nama, lambang, dan tanda gambar partai politik kepada KPU; dan
i. menyerahkan nomor rekening dana Kampanye Pemilu atas nama partai politik kepada KPU.

Syarat-syarat tersebut di atas, jika diamati dan dikaji secara intelek dan mendalam dengan melibatkan intuisi (khususnya huruf c, d, dan f) itu seakan merupakan sebuah kondisi hasil tawar-menawar dari hitung-hitungan matematika dan takaran-takaran rumus ekonomi yang hasil ujung penjumlahannya telah dapat “diprediksi”, yakni hanya akan menguntungkan sejumlah pihak (parpol) saja. Dan anehnya, dalam UU ini juga tidak mencantumkan dalam ketentuan umum tentang apa yang dimaksud dengan partai politik (parpol), padahal UU ini boleh dikata adalah undang-undang tentang parpol.

Mendalami syarat-syarat tersebut, kiranya dasar apa para penyusun UU ini harus memunculkan angka-angka “persen”, misalnya pada huruf c: memiliki kepengurusan di 75% jumlah kabupaten/kota…dst; juga d: memiliki kepengurusan di 50% jumlah kecamatan…dst. atau pada huruf f: memiliki anggota sekurang-kurangnya 1.000 (seribu) orang atau 1/1.000 (satu per seribu)…dst.

Secara sederhana, para penyusun UU ini memberlakukan format kepengurusan 100%, 75%, dan 50%, serta anggota 1.000 orang atau 1/1000 (se-perseribu). Ayo…mengapa sampai harus ada format seperti ini…? Tidakkah ini patut diduga, bahwa para penyusunnya telah melakukan hitung-hitungan terlebih dahulu dengan mengukur kemampuan dan kesanggupan parpolnya agar dapat kembali lolos sebagai peserta Pemilu? Kalau memang para penyusun UU. No. 8 Tahun 2012 ini mau berkompetisi secara “jantan” dan sengit habis-habisan, serta masih merasa yakin parpol mereka tetap digandrungi oleh rakyat, maka tetapkan format point b, c, dan d masing-masing rata 100%.

Dapat pula diduga, dengan ditetapkannya format 100%, 75%, dan 50% itu adalah sebagai gambaran bahwa para anggota DPR-RI penyusun UU ini, sesungguhnya telah mengukur kemampuan parpol mereka bisa berada di posisi aman ketika memberlakukan format tersebut. Dasar pertimbangannya, seakan mereka tahu, bahwa rakyat sudah  berada pada posisi tingkat kepercayaan yang menurun terhadap partai mereka. Sehingga itu harus dimunculkan format bersusun 100%, 75%, dan 50%.

Namun di sisi lain mereka (para penyusun UU ini) masih yakin, bahwa sebagian besar rakyat masih bisa “di-remote” dengan sentuhan dana agar dapat tergerak untuk mengantongi Kartu Tanda Anggota (KTA) parpol mereka. Sehingga itulah mereka menetapkan pula point (huruf) f.

Syarat huruf f ini boleh jadi sengaja dipasang sebagai “palang rintangan” sebelum menuju “‘pintu tergembok” yang masih membutuhkan kunci yang disebut “fulus”. Bunyi huruf f itu adalah: “memiliki anggota sekurang-kurangnya 1.000 (seribu) orang atau 1/1.000 (satu per seribu)…dst”.

Artinya, mereka seakan telah menghitung-hitung secara ekonomi (pengeluaran dan pemasukan) dalam merekrut anggota 1.000 atau 1/1000 orang dari jumlah penduduk pada kepengurusan di tingkat kabupaten/kota…? Mereka begitu amat yakin dapat meraih dan memenuhi syarat huruf f tersebut karena telah mengukur kemampuan dana (boleh jadi dari hasil korupsi mereka) yang akan dikeluarkan buat para calon anggota yang siap mengantongi KTA dari parpol mereka sebagai syarat verifikasi faktual.

Hal ini bisa saya ungkapkan karena berdasar pada pengalaman saya selaku ketua di salah satu parpol alternatif di tingkat provinsi. Saat merekrut anggota guna mengikuti tahapan verifikasi faktual, tidak sedikit warga yang ditemui hanya ingin direkrut dan dicatat namanya sebagai anggota (sesuai KTP) asalkan sebelumnya diberi uang.

Sudah pasti, point f ini tidaklah menjadi masalah berarti bagi parpol yang memiliki kekuatan dana yang besar, yang mungkin berasal dari hasil korupsi oleh para kadernya yang telah duduk di legislatif atau di pemerintahan. Tetapi  point f ini akan menjadi masalah yang sangat besar bagi parpol kecil atau pendatang baru yang hanya bermodalkan anggaran seadanya, meski sebetulnya memiliki niat tulus untuk memperbaiki bangsa dan negara ini dari keterpurukan, tentunya akan kesulitan karena masalah dana.

Pengalaman curhat dari teman-teman parpol lain (parpol rekomendasi DKPP) sangat mengeluhkan soal persaingan dana tersebut dalam merekrut warga untuk dijadikan anggota parpol. Teman-teman pimpinan parpol di daerah itu umumnya hanya mengeluhkan soal dana yang membuat parpol mereka tak bisa lolos, bukan karena tidak adanya anggota sebagaimana yang disyaratkan dalam huruf f tersebut.

Teman-teman dari parpol lain itu dengan jelas mengungkapkan kesedihan masing-masing, bahwa anggota (warga) yang mereka sudah catat itu bukanlah rekayasa atau diada-adakan. Hanya saja, ada berbagai motif sehingga anggota tersebut tiba-tiba dengan sesuatu alasan yang sangat terpaksa tidak mengakui dirinya sebagai anggota dari parpol bersangkutan. Misalnya, ada sejumlah anggota  yang membisikkan bahwa pengurus parpol sebetulnya punya dana yang diperuntukkan per anggota
yang direkrut tapi tidak disalurkan (padahal mungkin memang tidak ada dana karena memang parpol mereka bukan parpol korup). Bisikan ini muncul karena sebagian besar parpol yang telah diverifikasi faktual tahap awal (16 parpol) diduga kuat melakukan pembayaran kepada calon anggota yang mereka rekrut.

Di sisi lain, para parpol hasil rekomendasi DKPP ini telah mengalami “hantaman psikologis politik”, yakni ketika KPU yang telah mengumumkan bahwa partai mereka tidak lolos, tiba-tiba dinyatakan berhak diikutkan dalam verifikasi faktual. Spontan, kondisi ini membuat kacau para pengurus parpol yang mengakibatkan tidak sedikit anggota (warga yang telah direkrut) oleh parpol (hasil DKPP) menjadi kocar-kacir, sudah sulit dihubungi dan bahkan menjadi minder akibat parpol yang mereka ingin dukung itu dinyatakan tidak lolos oleh KPU. Kalau pun para anggota masih ada yang berhasil dihubungi, namun kondisinya psikologisnya sudah berbeda. Persiapan dan kekompakkan yang awalnya sudah dianggap matang seakan jadi bubar dan buyar. Para anggota pun terasa sangat sulit untuk kembali dikumpulkan apalagi untuk diyakinkan agar tetap optimis. Sebab, kebanyakan dari anggota bahkan tiba-tiba berubah jadi mata duitan.

Diperhadapkan dengan kondisi parah seperti itu, praktis membuat pengurus parpol (hasil DKPP) di daerah itu menjadi sangat “tersiksa”, karena semuanya harus digerakkan dengan duit. Sehingga tak heran, banyak parpol tersebut di daerah dinyatakan tidak lolos karena terbentur pada syarat huruf f yang telah berubah menjadi persaingan kekuatan dana. Beginilah kronologis sesungguhnya yang terjadi di tengah-tengah masyarakat, yang pada dasarnya ingin menciptakan demokrasi berkualitas, ternyata seakan telah diskenariokan sebelumnya, sehingga kedaulatan rakyat pun terancam kembali dimainkan dan dikuasai oleh para parpol korup.

Sungguh sangat menyedihkan UU ini (terutama pada pasal 8 ayat 2, huruf f itu), yang meski tidak secara langsung, namun sesungguhnya telah berhasil mengajarkan bangsa (rakyat) ini untuk makin terampil bermental “pengemis”. Yakni, calon anggota dan calon parpol peserta pemilu saling mengemis untuk mendapatkan keinginan masing-masing. Calon parpol meminta nama kepada warga untuk masuk jadi anggota (sesuai identitas di KTP), dan calon anggota parpol (warga) sebelum memberikan identitas sebagai anggota pun balik meminta agar diberi uang terlebih dahulu. Dan ini adalah fakta di lapangan..!!! Jika ada yang membantah, maka itu bohong besar…!!!

Sungguh, dan betapa memprihatinkan serta memilukannya perjalanan demokrasi kita hingga saat ini, yang mengapa harus diawali dan diwarnai setiap 5 tahun itu dengan proses serta cara-cara busuk seperti itu. Fenomena riil sebagai dampak dari diterapkannya point f ini juga sebetulnya tanpa disadari telah membuat UU. No. 8  Tahun 2012 ini sebagai undang-undang formalitas belaka untuk kembali melaksanakan Pemilu secara tidak berkualitas.

Dan dengan cara-cara busuk seperti itu pula, membuat tubuh UU No.8 Tahun 2012 ini menciderai dirinya sendiri. Simak saja pada materi menimbang huruf a yang menyebutkan:
a. bahwa untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah pemilihan umum sebagai sarana perwujudan kedaulatan rakyat untuk menghasilkan wakil rakyat yang aspiratif, berkualitas, dan bertanggung jawab berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Huruf a di atas menekankan pentingnya perwujudan kedaulatan rakyat untuk menghasilkan wakil rakyat yang aspiratif, berkualitas, dan bertanggungjawab. Namun sayangnya, hal ini cuma khayalan belaka yang tidak akan mungkin tercapai jika UU. No. 8 Tahun 2012 itu sendiri tidaklah mencerminkan kedaulatan rakyat, karena dalam menyusun dan menetapkan UU ini seakan nampak telah  terlebih dahulu diawali dengan upaya menyelamatkan dan mengamankan parpolnya sendiri-sendiri, bukan berdasar pada pencapaian kedaulatan rakyat. Kata kedaulatan rakyat dalam UU itu sungguh seakan hanya sebagai polesan dan pemanis untuk mengelabui rakyat demi meraih kepentingan dan keuntungan kelompoknya saja (Hehehee…makanan aja bisa diberi formalin apalagi cuma lembar kertas Undang-undang.)

UU No. 8 Tahun 2012, pasal 8 ayat 2, huruf f itu apabila dikaji secara rasional, maka  huruf f itu sangatlah tidak logis yang memerintahkan KPU agar dapat melakukan verifikasi faktual kepada para anggota parpol sekurang-kurangnya  1.000 orang atau 1/1000 dari jumlah penduduk pada kepengurusan parpol.

Menurut pemikiran saya, yang disebut anggota parpol itu adalah bagian dari pengurus parpol itu sendiri, bukan konstituen atau rakyat.

Keterlibatan rakyat sebagai pendukung dalam proses verifikasi faktual amat rancu dan sangat aneh. Mengapa rakyat harus dilibatkan dalam verifikasi?? Tentang melibatkan rakyat itu adalah menjadi urusan ke dalam bagi para parpol untuk mengumpulkan pendukung sebanyak-banyaknya apabila parpol itu sudah menjadi peserta pemilu, bukan pada saat sebelum menjadi peserta pemilu.
Berikut ini adalah alasan mengapa rakyat tidak perlu dan sangat tidak penting untuk dilibatkan pada proses verifikasi  faktual dalam menentukan lolos tidaknya parpol:
1. Bisa dipastikan banyak rakyat yang merasa tersakiti. Sebab parpol mereka bisa dinyatakan takluk sebelum “perang”. Dan ini akan berdampak buruk pada pelaksanaan pemilu nanti, misalnya banyak yang golput dan sebagainya.
2. Verifikasi faktual adalah bukan hari pelaksanaan pemilu yang sudah harus menentukan angka-angka persen.
3. Rakyat diajar untuk tidak menghargai kewibawaan pemilu karena telah diawali dengan tawar-menawar dan transaksi pada prinsip: “ada duit, abang disayang”. Akibatnya sangatlah jauh untuk dapat menghasilkan wakil rakyat yang aspiratif, berkualitas, dan bertanggung jawab berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
4. Bisa mengajarkan rakyat untuk tidak konsisten pada satu parpol saja. Sebab kenyataan di lapangan, justru sangat banyak ditemui satu orang bisa memegang hingga lebih dari satu KTA hanya karena “berburu” bayaran dari parpol. Ini sangat berpotensi menimbulkan konflik, baik antar sesama rakyat, maupun antara parpol satu dengan parpol lainnya. Sebab, boleh jadi ada rakyat yang tadinya tidak mendapatkan bayaran dan telah dicatat sebagai anggota, namun ketika mengetahui ternyata sejumlah rakyat lain di sebelahnya justru mendapat bayaran. Pun sebuah parpol bisa saja dikhianati oleh sejumlah anggotanya pada saat verifikasi faktual berjalan karena boleh jadi anggota tersebut sudah mendapat bayaran yang lebih tinggi dari parpol sebelumnya. (Dan semua ini sulit dideteksi langsung oleh Bawaslu/Panwaslu).
5. Jika rakyat sudah dilibatkan dalam verifikasi faktual, maka hampir dipastikan, bahwa parpol yang banyak modal uang saja yang akan lolos sebagai peserta pemilu. Sebab, yang mau diverifikasi ini adalah rakyat (manusia), bukan malaikat. Akibatnya, kemurnian demokrasi sangat bisa ternodai dengan cara-cara seperti ini.

Postur UU No. 8 Tahun 2012 nampaknya telah diisi dengan muatan-muatan kepentingan dari parpol tertentu, bukan berdasar pada kedaulatan rakyat. Bahkan UU ini samasekali mencerminkan tidak adanya keseriusan dari wakil rakyat (termasuk penyelenggara negara saat ini) untuk benar-benar berupaya mengembalikan Kedaulatan di tangan rakyat. Yang ada malah pemikiran bagaimana mempertahankan kembali kekuasaan (kedaulatan) parpol-parpol mereka saja melalui “keterampilan tangan” menyusun materi UU.

Sehingganya, UU No. 8 Tahun 2012 ini sesungguhnya hanya sebagai formalitas belaka, dan boleh disebut sebagai UU Kebangkitan Kembali para Parpol yang Korup.
Jika tidak ingin disebut demikian, maka segera hapus syarat huruf f pada pasal 8 dalam  UU No. 8 Tahun 2012 tersebut dengan pertimbangan 5 alasan sebagaimana disebutkan di atas.
Sebab terbukti huruf f ini adalah hambatan utama yang membuat banyak parpol kini terancam tidak lolos karena dinilai Tidak Memenuhi Syarat sebagai Parpol peserta Pemilu.

Patut digaris-bawahi, parpol yang terancam tidak lolos itu boleh jadi adalah parpol TERBAIK dibanding parpol yang kini merasa sudah memastikan diri lolos dari tahapan verifikasi, sekaligus bisa memastikan diri untuk dapat kembali beraksi sebagai parpol pelahap duit rakyat. Sungguh amat menjijikkan?!!
(Abdul Muis Syam: Ketua Partai Kedaulatan Provinsi Gorontalo)