(AMS, opini)
SEBELUM masing-masing memilih dan menetapkan calon presiden (Capres) yang bakal bertarung pada pemilihan presiden (pilpres) 2014 mendatang, –agar tak ada kata penyesalan di kemudian hari–, mungkin tak ada salahnya jika kita membandingkan-bandingkan dan menimbang-nimbang semua sosok yang saat ini telah ramai disebut-sebut sebagai capres tersebut, tentunya dengan kata hati yang sejujur-jujurnya serta dengan melibatkan pemikiran yang betul-betul objektif (bukan karena faktor kedaerahan/suku maupun karena terlanjur berada dalam partai yang telah memiliki capres sendiri).
Dan jika betul-betul mampu secara objektif menilai semua sosok capres yang ada saat ini, maka tentunya akan berkata jujur, setidaknya di antara capres yang ada tersebut akan memunculkan dan menunjuk nama DR Rizal Ramli sebagai figur yang sebetulnya paling cocok dipilih menjadi Presiden RI 2014-2019.
Bagaimana tidak, sepanjang perjalanannya, Rizal Ramli (RR) sejak di masa silam hingga di saat ini sebagai tokoh nasional sekaligus negarawan yang telah memiliki pengalaman dalam pemerintahan sebagai menteri itu, tidak satu pun diwarnai dengan perbuatan yang tidak terpuji, apalagi perilaku yang dapat dinilai menyakiti hati rakyat.
“Mbah” Google dan Yahoo bahkan tidak segan-segan membantu menunjukkan siapa sebenarnya RR. Jadi silakan saja bertanya langsung pada kedua penguasa internet itu. Sekarang!
Namun ketika apa yang “dikatakan” oleh mbah Google dan Yahoo ternyata dinilai hanya mengada-ngada, maka itu menandakan bahwa kita sebetulnya telah mencegah nilai-nilai objektivitas agar tidak mempengaruhi pemikiran subjektivitas kita, sekaligus secara sadar telah mencegah hati untuk berkata jujur,–atau dengan kata lain–, bahwa sebetulnya kita lebih mengedepankan egoisme kesukuan dan kepartaian sendiri. Dan inilah egoisme yang paling menghancurkan kemajuan bangsa dan negara kita.
Jika egoisme telah lebih banyak menggerogoti dan menyelimuti diri kita, maka sesungguhnya kita sendirilah yang tak ingin negeri ini berubah jadi lebih baik. Dan pula jika egoisme seperti ini tetap terus dipelihara, maka sebetulnya kita secara tidak sadar sudah melakukan “pembiaran massal” terhadap kesusahan dan kerusakan untuk tetap terjadi di negeri ini. Misalnya memilih pemimpin hanya dengan pendekatan partai dan kesukuan, namun di belakangan pemimpin yang awalnya terlihat bagai malaikat penyelamat namun ternyata berhati iblis, di mana korupsi, kasus narkoba, kesewenang-wenangan terhadap wartawan dan kesengsaraan rakyat malah makin merajalela, diperparah dengan otot-otot hukum yang menjadi lemas tak berdaya.
Sehingga itu, jika memang bangsa dan negara ini betul-betul serius ingin berubah menjadi lebih baik, maka tanggalkan sifat egoisme kesukuan dan kepartaian mulai sekarang!!! Sebab, egoisme semacam inilah sesungguhnya yang akan menginjak-injak persatuan dan kesatuan bangsa serta menenggelamkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Lihatlah warga Amerika Serikat yang kembali harus memilih Barack Obama, seorang kulit hitam, lagi bukan orang asli Amerika Serikat!
Bertolak dari semua itu, maka saat ini kita amat membutuhkan pemimpin yang betul-betul memiliki jiwa nasionalisme yang tinggi dengan menempatkan rakyat sebagai pemilik kedaulatan tertinggi, bukan pejabat atau penguasa yang memiliki catatan hitam kelam dan durhaka kepada rakyatnya.
Saya 100 persen adalah orang Makassar, bermukim di Provinsi Gorontalo, tetapi saya tidak serta merta (apalagi wajib) harus mendukung atau memilih figur dari daerah saya untuk jadi presiden, yakni ketika secara sadar bahwa sebetulnya ada figur yang lebih baik dibanding figur dari daerah saya tersebut. Jika saya memaksakan diri (egois) dengan hanya melihat satu suku (atau mungkin satu partai), maka di situlah awal kehancuran negeri ini.
Kalau saya hanya memilih figur, misalnya karena berasal dari satu partai, serta diketahui figur tersebut memiliki uang berlimpah, tetapi saya tahu bahwa figur itu adalah “vampir” menghisap darah rakyat, –alias koruptor dan memakan uang rakyat–, maka sungguh celaka dan hancurlah negara ini. Dan seterusnya.
Rizal Ramli, memang bukanlah seperti mereka (capres lainnya) yang berpangkat jenderal, pengusaha papan atas bermandikan harta, atau politisi kawakan. RR hanyalah seorang yang sejak masa kecil telah yatim-piatu, yang telah terbiasa berjuang mandiri menempuh kehidupan yang kejam dan sangat keras, sempat dipenjara karena melawan rezim orde baru, namun berhasil menjadi seorang Doktor dan ekonom terkemuka, menjadi seorang menteri. Namun boleh jadi karena “sifat bersihnya” yang sulit diajak “bermain kotor”, RR pun harus tersingkir.
Jujur, saya ingin sekali menulis buku tentang perjuangan RR, yang judulnya sudah saya persiapkan: “Mahkota Kedaulatan untuk Rakyat”. Ini sangat relevan dengan perjuangan RR yang amat menghendaki sebuah kemerdekaan bangsa Indonesia yang hanya bisa diraih apabila kedaulatan rakyat bisa kembali berdenyut setelah sekian lama disandera dalam demokrasi yang omong kosong, dan segala bentuk peraturan hukum yang tidak berpihak kepada rakyat kecil, seperti yang dipertontonkan hingga saat ini!
“Pelaku-pelaku korupsi bisa leluasa melakukan korupsi karena banyaknya kebijakan yang memang telah dirancang untuk merugikan negara dan hanya menguntungkan sebagian kelompok saja, dan ini yang disebut sebagai criminal democracy. Sistem saat ini hanya berhasil menyejahterakan pebisnis, pegawai pemerintahan dan lembaga legislatif, bukan rakyat,” ujar Rizal Ramli saat tampil sebagai pemateri di hadapan mahasiswa Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, Sabtu (29/9/2012) di dampingi Dr. Faisal Basri
Lalu tunggu apalagi??? Saatnya Rakyat Berdaulat!!!!