(AMS, opini)
SEORANG pakar kepemimpinan dunia, John Maxwell pernah berkata, bahwa: “Jatuh bangunnya segala sesuatu, bergantung pada pemimpin”.
Pernyataan ini meliputi kepemimpinan secara luas tentang organisasi dalam berbagai skala dan bentuk, mulai dari keluarga, sekolah, daerah, komunitas tertentu, hingga bangsa dan negara, sangat bergantung pada pemimpinnya.
Jika pemimpinnya baik, maka dapat dipastikan organisasi yang dipimpinnya berjalan dengan baik pula. Namun, jika pemimpinnya buruk, maka yang dipimpinnya akan mengalami kemunduran, dan bukan tidak mungkin akan mengalami kejatuhan.
Lihatlah kondisi Indonesia saat ini dengan jujur! Adakah perubahan signifikan yang terjadi sejak Indonesia merdeka? Rasanya tak berlebihan jika dikatakan tidak ada perubahan signifikan yang terjadi. Bukannya membaik, malah keadaannya justru makin memburuk.
Mari buka mata hati! Dan lihatlah krisis terjadi hampir di segala bidang. Konflik Indonesia kerap diwarnai dengan pertentangan antar-kelompok, saling mangsa-memangsa, bersitegang demi memperebutkan dan mempertahankan sesuatu yang hanya menguntungkan sejumlah kecil kelompok saja, dan merugikan orang yang tak terhitung jumlahnya.
Apa itu? Tak usah dijawab de-ngan mulut, karena sudah sangat jelas terlihat di depan mata, yakni “Korupsi” yang telah meluap bagai air di lautan arogansi kekuasaan yang membentuk laksana ombak. Rakyat hanya bagai butiran pasir di pantai yang samasekali tak berdaya ketika ditepuk dan diseret ombak keserakahan. Ketika laut surut (popularitas menurun), sang ombak bernyanyi merdu dengan syair janji-janji manis, dan menari-nari menghibur pasir. Namun ketika air kembali pasang (popularitas naik), maka ombak pun kembali menghantam pasir dengan angkuhnya.
Begitulah kiranya wajah angkuh kepemimpinan yang saat ini dipertontonkan oleh para pemimpin di negeri ini. Ketika rakyat mulai jenuh lalu mengamuk atas tingkah-laku pemimpin yang hanya pandai memperkaya diri dan kelomponya saja, pemimpin bukannya bergegas mengikuti kehendak rakyat, tetapi malah buru-buru menuding rakyat bertindak anarkis. Dan meminta secara tegas kepada aparat keamanan agar tidak segan-segan menindak pelaku (rakyat) yang anarkis. Hehehee… Sungguh lucu dan munafik pemimpin seperti ini!
Harusnya, jika pemimpin yang benar-benar bijak, arif dan punya mata hati, maka tentu ia akan mencari tahu sumber dan akar permasalahan tentang mengapa rakyat mulai mengamuk, dan bahkan anarkis. Bukannya malah murka dan menggunakan kekuasaan untuk menindas rakyat yang mengamuk karena memohon perbaikan, yakni perbaikan atas rapuhnya moral para pemimpin di negeri ini yang sangat nampak karena tak lagi mampu melihat dan mendengar jeritan rakyat berkesusahan. Sehingga, rakyat yang sebetulnya sebagai pemilik kekuasaan malah bagai pengemis yang telah berkali-kali ber-simpuh memohon setetes belas kasih.
Akibatnya, dapat disaksikan dari media elektronik maupun cetak memberitakan kejadian hidup berbangsa dan bernegara saat ini tiap hari diwarnai konflik di mana-mana. Mengapa? Ya, karena secara jujur, kondisi bangsa yang sedemikian kronis tersebut, tentunya lebih banyaknya dipengaruhi oleh buruknya penanganan dan pengendalian pemimpin bangsa di negeri ini.
Bukan sengaja menyudutkan dan mempersalahkan para pemimpin (dari kepala desa hingga kepala negara), tetapi bukankah semua itu adalah merupakan tanggung-jawab pemimpin? Jika tak mau disalahkan dan kalau tak mau dimintai pertang-gungjawaban, serta apabila tak punya mata hati, maka sebaiknya janganlah menjadi pemimpin.
Sebab, merosot dan kacaunya kondisi bangsa, adalah berbanding lurus atau merupakan dampak langsung dari merosotnya kualitas moral para pemimpin yang tak memiliki mata hati.
Beberapa contoh nyata merosotnya kualitas moral para pejabat dan pemimpin, yakni di antaranya: korupsi; studi banding yang bernuansa hanya untuk berwisata ke luar negeri; perkelahian anggota dewan di ruang sidang; skandal seks; rekening gendut PNS muda; menikmati narkoba; meminta fee dan suap atas proyek, serta masih banyak lagi seperti seorang pemimpin melarang berbuat maksiat, tetapi dirinya sendiri ternyata melakukan maksiat. Dan sungguh, kesemua itu seakan tak merasa berdosa dan malu mereka lakukan. Nah, apakah ini yang disebut kemajuan? Hahahaaa… itu kemajuan menurut pandangan kacamata minus. Namun menurut pandangan mata hati, semua itu adalah kejatuhan dari nilai-nilai kejayaan bangsa, dan yang terutama adalah kejatuhan kehormatan pemimpin itu sendiri.
Sekali lagi, mengapa semua itu terjadi? Jawabnya lagi-lagi adalah karena kebanyakan pemimpin bangsa yang ada saat ini hanya memburu kedudukan dan kekuasaan namun tak mampu ditunaikan dengan penuh pengabdian terhadap rakyat yang memberinya kekuasaan. Sehingga pemimpin seperti ini adalah disebut pemimpin yang durhaka kepada rakyat yang telah melahirkannya sebagai pemimpin di muka bumi ini.
Pemimpin banyak yang melakukan kedurhakaan kepada rakyat karena pemimpin tersebut tak punya mata hati untuk melihat secara mendalam penderitan dan kesusahan rakyatnya. Ia dibutakan dengan kekuasaan yang selalu dimaknai sebagai suatu arogansi, sehingga yang terjadi adalah rakyat yang selalu dipaksa untuk mengikuti segala kehendaknya, dan enggan menerima masukan masyarakat, serta selalu ‘jual mahal’ untuk mengikuti permohonan rakyatnya.
Pemimpin yang seharusnya berkarya dan mendatangkan kebaikan bagi rakyatnya, malah sibuk mengejar kebaikan dan kepentingan diri sendiri, tak mau mengalah dengan apa yang dituntut oleh rakyat hingga rakyatnya yang harus angkat tangan untuk menyerah. Pemimpin yang seharusnya menjadi suri teladan bagi rakyatnya, malah menjadi bahan tawa, omongan dan cemohan rakyat. Sungguh sangat ironis!
Sehingganya, tak ada pilihan lain buat rakyat untuk tidak lagi memilih pemimpin yang ‘buta’ karena tak punya mata hati, dan tuli dari suara-suara hati rakyatnya. Hanya itu!